A. Latar Belakang
Anemia defisiensi besi merupakan
defisiensi yang paling banyak
ditemukan diseluruh dunia. Anak-anak merupakan salah satu
kelompok yang paling rentan terkena
anemia defisiensi besi di samping kelompok usia subur. Kondisi ini tentu sangat berpengaruh
bagi kehidupan manusia karena masa anak merupakan masa vital bagi pertumbuhan dan perkembangan tubuh yang besar dan menurunkan prestasi belajar sehingga berpengaruh
terhadap pembentukan kualitas sumber daya
manusia pada masa produktif.
Organisasi kesehatan dunia
(WHO, 2004)
memperkirakan sekitar 40%
dari penduduk di dunia
terkena
anemia
defisiensi besi. Kelompok yang paling tinggi prevalensinya adalah ibu hamil
sekitar 55% dan usia lanjutyaitu sekitar
45%. Prevalensi anemia
defisiensi besi pada bayi dan anak usia dua tahun 48%,
anak usia prasekolah 40%, anak usia sekolah 25% dan wanita tidak hamil
35%. Prevalensi anemia di negara yang sedang
berkembang empat kali lebih
besar dibandingkan dengan negara maju. Diperkirakan prevalensi anemia pada anak sekolah
di
negara
berkembang
dan maju
adalah
42%
dan
17%.
Prevalensi anemia pada anak bawah lima tahun (balita) di Indonesia adalah sebanyak 33,7%
anak laki- laki dan 49,2% anak perempuan. Prevalensi
usia 5-14 tahun 42,8% anak lelaki dan 49,2%
anak perempuan.
Dalam kehidupan sehari-sehari Iron
Deficiency Anemia (IDA) atau lebih dikenal dengan sebutan anemia gizi besi
merupakan salah satu masalah gizi yang penting di Indonesia. Masalah anemia
gizi besi ini tidak hanya dijumpai dikalangan rawan seperti anak-anak, ibu
hamil, dan ibu yang sedang menyusui, tetapi juga diantara orang dewasa terutama
golongan karyawan dengan penghasilan rendah Menurut De Maeyer dan Adielstegman
(1985) dalam Ross dan Horton (1998), pada tahun 1985, sekitar 30 persen
penduduk dunia (1.3 milyar) menderita anemia gizi besi.
Anemia adalah suatu keadaan dimana
komponen di dalam darah, yakni hemoglobin (Hb) dalam darah jumlahnya kurang
dari kadar normal. Jika tidak segera ditangani anemia zat besi bisa menyebabkan
ganguan kesehatan serius. Prevalensi anemia gizi besi di Indonesia cukup
tinggi. Menurut data yang dikeluarkan Depkes RI, pada kelompok usia balita
prevalensi anemia gizi besi pada tahun 2001 adalah 47,0%, kelompok wanita usia
subur 26,4%, sedangkan pada ibu hamil 40,1%. Data WHO tidak kalah fantastis:
hampir 30% total penduduk dunia diperkirakan menderita anemia. Dimana
insidennya 30% pada setiap individu di seluruh dunia. Prevalensi terutama
tinggi di negara berkembang karena faktor defisiensi diet dan atau kehilangan
darah akibat infeksi parasit gastrointestinal. Umumnya anemia asemtomatid pada
kadar hemoglobin diatas 10 gr/dl, tetapi sudah dapat menyebabkan gangguan
penampilan fisik dan mental. Bahaya anemia yang sangat parah bisa mengakibatkan
kerusakan jantung, otak dan organ tubuh lain, bahkan dapat menyebabkan
kematian.
Sel darah merah mengandung
hemoglobin yang memungkinkan mereka mengangkut oksigen dari paru-paru, dan
mengantarkannya ke seluruh bagian tubuh. Anemia menyebabkan berkurangnya
jumlah sel darah merah atau jumlah hemoglobin dalam sel darah merah, sehingga darah tidak dapat mengangkut oksigen
dalam jumlah sesuai yang diperlukan tubuh.
Anemia bukan suatu penyakit
tertentu, tetapi cerminan perubahan patofisiologik yang mendasar yang diuraikan
melalui anamnesis yang seksama, pemeriksaan fisik, dan konfirmasi laboratorium
(Baldy, 2006).
Masyarakat Indonesia masih belum
sepenuhnya menyadari pentingnya zat gizi, karena itu prevalensi anemia di
Indonesia sekarang ini masih cukup tinggi, terutama anemia defisiensi nutrisi
seperti besi, asam folat, atau vitamin B12. Setelah menentukan
diagnosis terjadinya anemia, maka selanjutnya perlu disimpulkan tipe anemia itu
sendiri. Penatalaksanaan anemia yang tepat sesuai dengan etiologi dan
klasifikasinya dapat mempercepat pemulihan kondisi pasien.
PEMBAHASAN
Masalah gizi di Indonesia masih
banyak ditemukan, baik masalah akibat kekurangan zat gizi maupun akibat
kelebihan zat gizi. Masalah gizi akibat kekurangan zat gizi diantaranya adalah
anemia. Anemia adalah suatu keadaan dimana kadar hemoglobin dalam darah kurang
dari nilai normal (Wahyuni 2004). Anemia di Indonesia biasanya disebabkan
karena kekurangan zat besi sehingga sering disebut anemia zat besi
(Gunatmaningsih 2007).
Anemia dapat menyerang segala
kalangan, mulai dari balita, anak-anak, remaja, dewasa, lansia, ibu hamil
sampai ibu menyusui. Laporan hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) Nasional
tahun 2007, berdasarkan acuan SK Menkes No.736a tahun 1989, di Indonesia
prevalensi anemia mencapai 14,8%. Dari 33 provinsi, 20 provinsi memiliki angka
prevalensi anemia lebih besar. Prevalensi anemia di perkotaan menurut Riskesdas
paling tinggi terjadi pada kelompok wanita yaitu 19,7%, diikuti kelompok
laki-laki dewasa 12,1%. Pada anak-anak prevalensinya mencapai 9,8%. WHO
Guidelines menyebutkan bila prevalensi anemia dalam suatu populasi lebih dari
15%, hal itu sudah merupakan masalah kesehatan nasional.
Jenis anemia pada hasil Riskesdas
tersebut sebagian besar adalah anemia mikrositik hipokromik (60,2%). Anemia
mikrositik-hipokromik umumnya karena kekurangan zat besi, selain itu karena
penyakit kronis tingkat lanjut, atau keracunan timbal. Anemia akibat kekurangan
zat besi kemudian dikenal dengan nama anemia gizi besi.
Secara umum tingginya prevalensi
anemia gizi besi antara lain disebabkan oleh beberapa faktor yaitu kehilangan
darah secara kronis, asupan zat besi tidak cukup, penyerapan yang tidak adekuat
dan peningkatan kebutuhan akan zat besi (Gunatmaningsih 2007).
Anemia gizi besi dapat menimbulkan
berbagai dampak. Anemia pada balita dan anak dapat menyebabkan kegagalan
perkembangan fisik dan kognitif, serta meningkatkan resiko morbiditas. Pada
dewasa anemia dapat menyebabkan berkurangnya produktivitas. Anemia juga
berkontribusi terhadap 20% kematian maternal (WHO 2011). Selain itu, anemia
menyebabkan menurunnya kekebalan tubuh dan gangguan penyembuhan luka (Almatsier
2006).
Besarnya masalah anemia gizi besi
menuntut adanya upaya penangulangan agar masalah tersebut dapat diatasi.
Konsultasi gizi dapat menjadi metode yang tepat dalam penanganan penyakit ini.
Dengan konsultasi gizi diharapkan terjadinya peningkatan pengetahuan gizi
pada sasaran secara efektif, untuk selanjutnya diharapkan tercapainya
perubahan perilaku kesehatan.
Anemia Defisiensi Besi
Anemia merupakan suatu keadaan
kadar hemoglobin (Hb) di dalam darah yang lebih rendah dari nilai normal.
Nilai normal Hb seperti yang tercantum dalam SK Menkes RI No.
736a/Menkes/XI/1989, sebagai berikut.
Hb laki-laki dewasa : >13 g/dl
Hb perempuan dewasa : >12 g/dl
Hb anak-anak : >11 g/dl
Hb ibu hamil : >11 g/dl
(Riskesdas 2007)
Anemia gizi besi merupakan anemia
yang disebabkan karena kurangnya supply zat besi di dalam sumsum tulang di mana
sel darah merah dibentuk. Hal ini dapat disebabkan karena kurangnya
asupan zat besi dan bertambahnya kehilangan zat besi dari tubuh. Selain itu
juga karena bertambahnya kebutuhan dan berkurangnya penyerapan.
Menurut WHO (1992)
anemia adalah suatu keadaan dimana kadar hemoglobin lebih rendah dari batas
normal untuk kelompok orang yang bersangkutan.
Anemia gizi besi adalah suatu keadaan dimana terjadi penurunan cadangan
besi dalam hati, sehingga
jumlah hemoglobin darah menurun dibawah normal. Sebelum terjadi anemia gizi
besi,
diawali lebih dulu dengan
keadaan
kurang gizi besi
(KGB). Apabila cadangan besi dalam
hati menurun tetapi belum parah, dan jumlah
hemoglobin masih
normal, maka seseorang dikatakan mengalami kurang gizi besi saja
(tidak disertai anemia gizi besi). Keadaan kurang
gizi besi yang
berlanjut dan
semakin parah akan mengakibatkan anemia gizi besi, dimana
tubuh tidak lagi mempunyai cukup
zat besi untuk membentuk hemoglobin yang diperlukan dalam
sel-
sel darah yang baru.
Anemia Defisiensi Besi adalah suatu keadaan yang
ditandai oleh penurunan kadar
erithrosit atau penurunan kadar hematokrit atau penurunan kadar hemoglobin yang
diakibatkan oleh kekurangan besi yang
merupakan bahan utama pembentuk hemoglobin. prevalensi anemia defisiensi
besi menurut
Riskesdas 2007 adalah
70,1% dari
12,8% angka anemia nasional.
Laporan
ADB
menyebutkan
22 juta anak Indonesia mengidap anemia ini (2010).
Penyebab paling banyak dari anemia defisiensi besi adalah kurangnya asupan salah satu
mikronutrien penting yaitu zat besi. Hasil penelitian Bagian Ilmu Gizi FKUI
tahun 2008 didapatkan bahwa 92% anak sekolah mendapatkan asupan zat besi kurang dari rekomendasi harian. Hasil
penelitian
Zulaekah
(2007)
didapatkan tingkat
konsumsi besi adalah 54,67%, sedangkan tingkat konsumsi
vitamin C 39,21% (< 65% AKG
yang dianjurkan) pada anak-anak.
Hemoglobin
Hemoglobin adalah metaloprotein (protein yang mengandung zat besi) di dalam sel darah merah yang berfungsi sebagai pengangkut
oksigen dari paru-paru ke seluruh
tubuh,
pada mamalia dan hewan lainnya. Hemoglobin juga pengusung
karbon dioksida
kembali menuju paru-paru untuk dihembuskan keluar tubuh.
Setiap gram hemoglobin mengandung 1,3 ml oksigen. 97%
oksigen yang dibawa dari paru- paru dan hanya 3 % yang
larut dalam plasma. Sehingga
hemoglobin merupakan mengangkut utama
oksigen di dalam tubuh (Guyton, 1996). Hemoglobin yang terpajan oksigen, akan membentuk oksihemoglobin hasil pengikatan molekul oksigen pada rantai alfa dan
beta.
Oksihemoglobin akan diedarkan ke seluruh tubuh. Sampai di jaringan, moleku oksigen akan dilepaskan ke jaringan, disini menjadi deoksihemoglobin atau hemoglobin tereduksi (Sloan,1996).
Besi
Besi adalah komponen penting
dari
hemoglobin yang
terikat pada sel darah merah.
Hemoglobin menyuplai oksigen ke
otot untuk metabolisme karbohidrat dan lemak untuk
menghasilkan energi Angka kecukupan besi adalah 15-18 mg perhari untuk wanita dan 10 mg per hari untuk laki-laki. Sedangkan untuk seorang
olah ragawan membutuhkan besi 30% lebih
banyak dari rata-rata kebutuhan orang
dewasa (Anderson dan Fitzgerald, 2010).
Zat besi atau
fe
adalah nutrisi penting untuk
tubuh manusia. Kebutuhan
zat besi pada tubuh pria dewasa ialah
40 -
50 mg zat besi/kg berat badan. Bagi tubuh wanita dewasa adalah
35- 50 mg/kg berat badan. Zat besi mengambil
peran
penting dalam
proses distribusi oksigen
dalam darah
tubuh manusia. Zat
besi juga berfungsi dalam proses produksi haemoglobin. Zat besi juga berperan penting dalam
fungsi kekebalan
tubuh. Kekurangan zat besi akan semakin
memperbesar potensi tubuh
mudah terserang penyakit.
Zat besi adalah salah
satu unsur yang diperlukan
dalam proses pembentukan sel
darah merah. Sel darah
merah ini mengandung senyawa kimia bernama hemoglobin, yang berfungsi
membawa oksigen dari paru-paru
dan mengantarkannya ke seluruh bagian
tubuh. Kekurangan
zat
besi dalam menu
makanan sehari-hari
dapat
menimbulkan penyakit anemia gizi
atau yang
dikenal masyarakat
sebagai
penyakit kurang darah.
Metabolisme besi merupakan siklus kompleks antara penyimpanan, penggunaan, transport,
penghancuran dan penggunaan kembali. Faktor utama keseimbangan besi dan metabolisme adalah:
1.
Intake atau masukan bergantung
pada kuantitas masukan, Bioavailibilitas dan kemampuan
penyerapan.
Penyerapan
besi
tergantung pada
mukosa intestinum, kebutuhan tubuh,
diet, bioavailibilitas dan kecepatan produksi
erithrosit. Rata-rata 5-15% pada orang
dewasa. Laki- laki < wanita yaitu 6% disbanding 13%. Factor-faktor yang
mempengaruhi pengambilan Fe oleh intestine adalah :
a.
Meningkatkan
pengambilan
Fe
: Vitamin C, protein
makanan (Daging, ikan dan
unggas), Kondisi kebutuhan meningkat (hamil,pertumbuhan, defisiensi), Gula
fructose, Asam sitrat, lisin, sistein, metionin.
b.
Menghambat pengamblan Fe : Fitat/oksalat, Antacid , Tannin
atau
poliphenol lain, Calsium dan phosphor, Motilitas usus meningkat
2. Penyimpanan Fe dalam bentuk Ferritin, Hemosiderin, Sel retikuloendotelial, Sumsum tulang.
3. Kehilangan
Fe melalui
feses
0,6mg/hari, melalui kulit
0,2-0,3mg/hari, melalui urine
0,1mg/hari, menstruasi
menyebabkan kehilangan Fe setara dengan
0,4-0,5 mg/hari.
Molekul hemoglobin terdiri dari 4 sub unit yaitu 2 rantai α
dan
2 rantai ß. Masing-masing globin membentuk sebuah katong
untuk molekul heme sehingga memiliki kapasitas mengikat
sampai empat molekul oksigen.
2,3 DPG mengikat 2
rantai ß untuk menstabilkan molekul saat molekul berada dalam keadaan
terdeoksigenasi.
Suplementasi besi berupa besi oral digunakan untuk profilaksis mupun terapi. Besi oral
biasanya merupakan besi non-heme. Besi oral bisa dalam bentuk garam ferro atau ferri, namun yang
paling banyak digunakan adalah garam ferro disebabkan sifat-sifatnya yang baik seperti
kelarutannya yang tinggi dalam lambung, mudah diabsorbsi yaitu 3x dari
penyerapan bila dalam bentuk
feri, terutama pada keadaan
perut
kosong. Suplemen tersebut menyediakan besi
non heme
dan
absorpsi akan banyak ketika ditelan dengan sumber vitamin C yang
mempermudah penyerapan. Efek pertama suplemen besi oral pada sejumlah sel darah merah dan konsentrasi hemoglobin
terjadi selama 2 minggu.
Luasan masalah anemia gizi besi
Iron Deficiency
Anemia (IDA) atau lebih dikenal dengan sebutan anemia gizi
besi merupakan salah satu masalah gizi yang penting
di Indonesia. Masalah anemia
gizi
besi ini tidak hanya dijumpai
dikalangan rawan
seperti anak-anak, ibu hamil,
dan ibu yang sedang menyusui, tetapi juga diantara orang
dewasa terutama golongan karyawan dengan penghasilan
rendah
(Djojosoebagio, et al. 1986). Menurut
De Maeyer dan Adielstegman (1985) dalam Ross dan Horton (1998),
pada tahun 1985, sekitar 30 persen
penduduk dunia (1.3 milyar) menderita anemia gizi
besi.
Penyebab Anemia Gizi
Besi
Menurut Komite Nasional PBB Bidang
Pangan dan Pertanian (1992), anemia
gizi besi dapat disebabkan oleh dua
faktor yaitu faktor penyebab langsung dan faktor penyebab tidak langsung. Faktor penyebab langsung meliputi jumlah Fe dalam
makanan tidak cukup, absorbsi Fe rendah, kebutuhan
naik serta kehilangan darah, sehingga keadaan ini menyebabkan jumlah Fe dalam tubuh menurun. Menurunnya Fe (zat besi) dalam tubuh akan memberikan dampak yang negatif bagi fungsi tubuh. Hal ini dikarenakan zat besi merupakan salah satu zat gizi penting yang terdapat pada
setiap sel hidup, baik sel tumbuh-tumbuhan, maupun sel hewan.
Di dalam tubuh, zat
besi sebagian besar
terdapat dalam darah yang merupakan bagian dari protein yang
disebut hemoglobin di dalam sel-sel darah merah, dan disebut
mioglobin di dalam sel-sel
otot.
Hemoglobin berfungsi mengangkut oksigen dari
paru-paru ke seluruh sel tubuh,
sedangkan mioglobin mengangkut dan menyimpan oksigen
untuk sel-sel otot. Besi yang ada di dalam tubuh berasal dari tiga sumber yaitu besi yang diperoleh dari hasil perusakan sel-sel darah merah (hemolisis), besi yang
diambil dari penyimpanan dalam
tubuh, dan besi yang diserap
dari saluran
pencernaan.
Dari ketiga sumber tersebut, besi hasil hemolisis merupakan sumber utama.
Pada manusia yang
normal, kira-kira 20-25 mg besi per hari berasal dari besi hemolisis, dan hanya sekitar 1 mg berasal dari makanan. Di dalam tubuh manusia,
jumlah zat besi
sangat bervariasi tergantung
pada umur, jenis kelamin, dan kondisi
fisiologis tubuh. Pada orang dewasa sehat, jumlah zat besi diperkirakan lebih dari
4000 mg dengan sekitar 2500 mg ada dalam hemoglobin. Sebagian zat besi dalam
tubuh (sekitar 1000
mg) disimpan di dalam hati dengan bentuk ferritin.
Pada saat konsumsi zat besi dari
makanan tidak cukup,
zat besi
ferritin dikeluarkan untuk
memproduksi hemoglobin.
Ketidakcukupan jumlah Fe dalam makanan terjadi karena pola konsumsi
makan masyarakat Indonesia masih didominasi
sayuran sebagai sumber zat besi yang
sulit diserap, sedangkan daging dan bahan
pangan hewani sebagai sumber zat besi yang
baik (heme iron) jarang
dikonsumsi terutama oleh masyarakat pedesaan. Menurut Almatsier (2001),
pada umumnya, besi di
dalam daging, ayam, dan ikan mempunyai ketersediaan biologik yang
tinggi, besi di dalam serealia dan kacang-kacangan mempunyai ketersediaan biologik yang sedang,
dan besi yang terdapat
pada sebagian
besar sayur-sayuran terutama yang mengandung asam oksalat
tinggi
seperti bayam mempunyai
ketersediaan
biologik yang
rendah.
Faktor lain
yang merupakan
penyebab anemia
gizi
besi adalah faktor penyebab tidak langsung, yang
meliputi praktek pemberian makanan yang kurang
baik, komposisi makanan kurang beragam, pertumbuhan fisik, kehamilan dan
menyusui, pendarahan kronis, parasit, infeksi, pelayanan kesehatan yang
rendah, terdapatnya
zat
penghambat absorbsi,
serta
keadaan sosial ekonomi
masyarakat
rendah (Komite Nasional PBB Bidang
Pangan dan Pertanian, 1992). Keadaan sosial ekonomi meliputi tingkat pendidikan, tingkat pengetahuan, besar
keluarga, pekerjaan, pendapatan,
dan
lain-lain. Tingkat ekonomi (pendapatan) yang
rendah dapat
mempengaruhi pola makan. Pada tingkat pendapatan yang rendah, sebagian besar
pengeluaran ditujukan
untuk
memenuhi kebutuhan
pangan dengan
berorientasi pada jenis
pangan karbohidrat. Hal ini disebabkan makanan yang mengandung banyak karbohidrat lebih murah dibandingkan dengan makanan sumber zat besi, sehingga
kebutuhan zat besi akan sulit terpenuhi, dan dapat berdampak pada terjadinya anemia gizi besi.
Seperti yang
telah disebutkan bahwa salah satu penyebab anemia gizi besi
adalah
adanya zat
penghambat absorbsi.
Menurut Almatsier (2001),
terdapat
beberapa makanan
yang mengandung
zat penghambat absorbsi
besi diantaranya
adalah beberapa jenis sayuran yang mengandung asam oksalat, beberapa jenis serealia dan
protein kedelai yang mengandung asam fitat, serta teh dan kopi yang
mengandung tanin. Bila
besi tubuh tidak terlalu tinggi, sebaiknya tidak minum teh atau kopi pada
waktu makan. Selain itu, kalsium dosis tinggi berupa suplemen juga dapat
menghambat absorbsi
besi.
Dalam kaitannya dengan mekanisme absorbsi, dikenal ada
dua macam besi dalam makanan, yaitu besi heme dan besi non heme .
Besi heme diambil oleh sel mukosa dan dipecah di dalam sel oleh suatu enzim pembelah heme
. Adapun besi non heme
mungkin diambil dalam bentuk ion oleh penerima
pada
sel
mukosa usus atau
oleh pengangkut protein yang
berada di permukaan luminal sel. Absorbsi besi non heme sangat dipengaruhi oleh status gizi serta
oleh berbagai faktor makanan.
Sedangkan absorbsi besi heme tidak dipengaruhi status gizi serta tidak dipengaruhi oleh faktor-faktor lain yang
mempengaruhi
absorbsi
besi non
heme.
Dampak Anemia Gizi Besi
Dampak yang ditimbulkan
akibat anemia gizi besi sangat kompleks. Menurut
Ros & Horton (1998), Anemia Gizi Besi berdampak pada menurunnya kemampuan motorik anak, menurunnya skor IQ, menurunnya kemampuan kognitif, menurunnya kemampuan mental anak, menurunnya produktivitas kerja pada orang dewasa, yang
akhirnya berdampak
pada
keadaan ekonomi, dan pada wanita hamil akan menyebabkan
buruknya persalinan,
berat
bayi
lahir rendah, bayi lahir premature, serta
dampak negatif lainnya seperti komplikasi kehamilan dan kelahiran. Akibat lainnya dari anemia gizi besi adalah gangguan pertumbuhan, gangguan imunitas serta
rentan terhadap pengaruh racun dari logam-logam
berat.
Besi
memegang peranan dalam sistem kekebalan tubuh. Respon kekebalan sel
oleh limfosit-T terganggu karena
berkurangnya pembentukan sel-sel tersebut, yang
kemungkinan disebabkan oleh berkurangnya sintesis DNA. Berkurangnya
sintesis
DNA
ini disebabkan oleh gangguan enzim reduktase
ribonukleotide yang membutuhkan besi untuk dapat berfungsi. Disamping
itu,
sel darah putih yang
menghancurkan bakteri tidak dapat bekerja
secara efektif dalam keadaan tubuh
kekurangan besi. Enzim lain yang berperan dalam sistem kekebalan tubuh yaitu
mieloperoksidase juga akan terganggu fungsinya akibat
defisiensi besi seperti yang
telah disebutkan di atas bahwa anemia gizi besi erat kaitannya
dengan penurunan kemampuan motorik (dampak fisik).
Dilihat dari dampak fisik
Anemia gizi besi dapat menyebabkan rasa
cepat lelah. Rasa cepat lelah terjadi karena pada
penderita anemia gizi besi pengolahan (metabolisme)
energi oleh otot tidak
berjalan sempurna
karena otot kekurangan oksigen, dimana
oksigen yang dibutuhkan oleh sel-sel otot ini diangkut oleh zat besi dalam darah
(hemoglobin). Untuk menyesuaikan dengan berkurangnya jatah oksigen, maka otot
membatasi produksi
energi. Akibatnya, mereka yang
menderita anemia gizi besi akan cepat lelah bila bekerja karena cepat
kehabisan
energi.
Cepatnya rasa lelah yang dialami oleh para pekerja yang menderita anemia
gizi
besi akan
menurunkan produktivitas kerja. Menurunnya
produktivitas kerja, selain disebabkan oleh
menurunnya hemoglobin darah, juga disebabkan oleh berkurangnya enzim-enzim mengandung besi, dimana besi sebagai kofaktor enzim-
enzim yang terlibat
dalam
metabolisme
energi
tersebut.
Studi mengenai anemia pada
pekerja
wanita yang dilakukan di Jakarta,
Tangerang, Jambi dan Kudus,
membuktikan bahwa anemia dapat menurunkan
produktivitas kerja. Dilaporkan bahwa anemia menurunkan produktivitas 5-10 persen
dan
kapasitas kerjanya
6.5
jam per minggu. Padahal, produktivitas
kerja ini sangat penting peranannya dalam menentukan nilai pendapatan per kapita.
Selain menurunkan produktivitas kerja yang umumnya terjadi pada penderita
usia dewasa, anemia gizi besi juga
mengakibatkan dampak negatif terhadap anak usia sekolah. Anak usia sekolah yang menderita anemia gizi besi akan
mengalami penurunan kemampuan kognitif, penurunan kemampuan belajar, dan pada
akhirnya akan
menurunkan
prestasi
belajar.
Menurut
Lozzoff
dan Youdim (1988) dalam
Almatsier (2001), menyatakan bahwa terdapat hubungan antara defisiensi
besi dengan fungsi otak.
Defisiensi
besi berpengaruh
negatif terhadap fungsi otak,
terutama terhadap fungsi sistem neurotransmitter
(penghantar syaraf). Akibatnya, kepekaan reseptor
syaraf dopamin berkurang yang
dapat berakhir dengan hilangnya reseptor tersebut.
Daya
konsentrasi, daya ingat, dan kemampuan belajar terganggu, ambang batas rasa sakit meningkat, fungsi kelenjar
tiroid dan kemampuan
mengatur suhu tubuh juga menurun.
Dampak lebih lanjut akibat anemia gizi besi adalah
menurunnya status gizi
seseorang. Status gizi dapat mempengaruhi kualitas manusia, produktivitas kerja, dan menurunnya pendapatan. Menurut Djojosoebagio et al. (1986), keadaan ini akan menimbulkan akibat yang lebih
luas baik pada aspek fisik,
mental, kemampuan berfikir
maupun aspek sosial ekonomi
dan sumberdaya manusia pada umumnya.
Penanggulangan Anemia Gizi Besi
Penanggulangan
Anemia Gizi Besi yang telah dilakukan meliputi
suplementasi besi dan fortifikasi besi pada
beberapa bahan makanan, serta upaya lain yang
dilakukan adalah peningkatan konsumsi
makanan sumber zat besi. Program
pemberian suplemen zat besi
telah
dilakukan sejak
tahun 1974, terhadap
wanita hamil. Program
ini
meliputi seluruh wanita hamil yang
tersebar di beberapa puskesmas dan posyandu. Tablet suplemen ini sebagian besar berasal dari UNICEF Selain pada
wanita
hamil,
suplemen besi
juga diberikan
pada anak dengan usia dibawah lima tahun, yaitu berupa sirup besi (Soekirman et al.,
2003).
Fortifikasi besi lebih sulit dilakukan daripada
fortifikasi vitamin A dan zat iodium, karena sifat kimiawi zat besi yang beragam dan
memerlukan penyesuaian dengan pangan yang
akan difortifikasi. Bahan pangan yang
akan
difortifikasi harus memenuhi beberapa persyaratan diantaranya dihasilkan oleh pabrik tertentu,
dikonsumsi oleh banyak orang termasuk kelompok sasaran, harga setelah difortifikasi terjangkau, rupa
dan
rasa tidak berubah, serta sesuai dengan sifat
kimiawi zat fortifikan. Beberapa bahan pangan yang
telah difortifikasi adalah tepung
terigu dan garam.
Menurut Muhilal dan Karyadi (1980), pelaksanaan fortifikasi tingkat nasional harus
melibatkan banyak departemen dalam pemerintahan, antara lain Departemen Kesehatan yang
menentukan kadarnya, Departemen Perindustrian yang menangani
proses fortifikasi, serta Departemen Perdagangan yang
menangani penyalurannya. Keuntungan
fortifikasi besi adalah
bahwa
zat besi dapat mencapai sasaran untuk
semua golongan umur. Terdapat beberapa hal yang dapat mendukung
kebijakan fortifikasi. Dari pihak
pemerintah, perlu adanya subsidi pada
tahap awal penerapan teknologi fortifikasi.
Departemen Kesehatan yang
juga merupakan lembaga
pemerintah harus terus-menerus melakukan pemasaran sosial mengenai bahan-bahan yang telah mengalami
fortifikasi. Disamping lembaga-lembaga yang ada
di dalam negeri, lembaga-lembaga Internasional juga harus melakukan dukungan
yaitu dengan
melakukan studi efikasi untuk mengetahui
keefektifan dari
suatu bahan
yang telah
difortifikasi. Selain dengan suplementasi dan
fortifikasi, penanggulangan anemia gizi besi yang
terpenting adalah dengan memperhatikan pola makan, yaitu menerapkan pola
makan yang
baik dan bergizi seimbang. Dalam memilih makanan sumber zat besi, selain memperhatikan jumlahnya yang terdapat dalam makanan, juga memperhatikan
daya serap dan nilai biologisnya. Daya serap dan nilai biologis makanan dipengaruhi oleh empat hal, yaitu jumlah kandungan zat besi, bentuk kimia fisik zat besi, adanya
makanan lain yang
memacu atau menghambat absorbsi zat besi serta cara
pengolahan makanan.
Dengan memperhatikan pola
makan, diharapkan kebutuhan zat besi pada
masing-masing individu dapat terpenuhi sebagaimana yang
dibutuhkan. Menurut
Kartono dan Soekatri (2004) kebutuhan
besi per orang per hari untuk bayi (0-11
bulan) adalah 0.5-7 mg, anak usia 1-9 tahun adalah 8-10 mg, pria 10-12 tahun adalah 13 mg, pria
usia 13-15 tahun adalah 19 mg, pria usia 16-18 tahun adalah 15 mg, pria usia 19-65 tahun keatas adalah 13 mg, wanita
usia 10-12 tahun adalah 20 mg, wanita
usia 13-49 tahun adalah 26
mg, wanita usia 50-65 tahun keatas
adalah
12 mg, untuk wanita hamil ditambah 9-13 mg dari kebutuhan normal, sedangkan untuk wanita
menyusui
ditambah
6 mg
dari kebutuhan normal.
Menurut Winarno (2002), jumlah besi yang diluarkan tubuh sekitar 1.0 mg per hari, dan untuk wanita masih ditambah 0.5 mg
hilang
karena menstruasi. Adapun
jumlah besi yang diserap hanya sekitar 10%. Perbaikan dalam gizi dan kesehatan tenaga kerja akan
meningkatkan efisiensi
kerja
melalui peningkatan kemampuan
individunya. Pengaruh program kesehatan serta gizi terhadap penduduk usia muda
akan terlihat pada peningkatan GNP di masa depan. Peningkatan GNP terjadi karena
adanya pertumbuhan ekonomi, yaitu dengan dengan bertambahnya tingkat partisipasi
angkatan kerja dan secara tidak langsung
melalui tingkat partisipasi dalam dunia pendidikan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar