Kamis, 12 Februari 2015

Anemia Gizi Besi


A.    Latar Belakang
Anemia  defisiensi  besi  merupakan defisiensi   yang   paling   banyak ditemukan diseluruh dunia. Anak-anak merupakan salah satu kelompok yang paling rentan terkena anemia defisiensi besi di samping kelompok usia subur. Kondisi ini tentu sangat berpengaruh bagi kehidupan manusia karena masa anak merupakan masa vital bagi pertumbuhan dan perkembangan tubuh yang besar dan menurunkan prestasi belajar sehingga berpengaruh terhadap pembentukan kualitas sumber daya manusia pada masa produktif.
Organisasi kesehatan dunia (WHO, 2004) memperkirakan  sekitar  40%  dari  penduduk di   dunia   terkena   anemia   defisiensi   besi. Kelompok yang paling tinggi prevalensinya adalah ibu hamil sekitar 55% dan usia lanjutyaitu sekitar 45%. Prevalensi anemia defisiensi besi pada bayi dan anak usia dua tahun 48%, anak usia prasekolah 40%, anak usia sekolah 25% dan wanita tidak hamil 35%. Prevalensi anemia di negara yang sedang berkembang empat kali lebih besar dibandingkan dengan negara maju. Diperkirakan prevalensi anemia pada  anak  sekolah  di  negara  berkembang dan  maju  adalah  42%  dan  17%.  Prevalensi anemia pada anak bawah lima tahun (balita) di Indonesia adalah sebanyak 33,7% anak laki- laki dan 49,2% anak perempuan. Prevalensi usia 5-14 tahun 42,8% anak lelaki dan 49,2% anak perempuan.
Dalam kehidupan sehari-sehari Iron Deficiency Anemia (IDA) atau lebih dikenal dengan sebutan anemia gizi besi merupakan salah satu masalah gizi yang penting di Indonesia. Masalah anemia gizi besi ini tidak hanya dijumpai dikalangan rawan seperti anak-anak, ibu hamil, dan ibu yang sedang menyusui, tetapi juga diantara orang dewasa terutama golongan karyawan dengan penghasilan rendah Menurut De Maeyer dan Adielstegman (1985) dalam Ross dan Horton (1998), pada tahun 1985, sekitar 30 persen penduduk dunia (1.3 milyar) menderita anemia gizi besi.
Anemia adalah suatu keadaan dimana komponen di dalam darah, yakni hemoglobin (Hb) dalam darah jumlahnya kurang dari kadar normal. Jika tidak segera ditangani anemia zat besi bisa menyebabkan ganguan kesehatan serius. Prevalensi anemia gizi besi di Indonesia cukup tinggi. Menurut data yang dikeluarkan Depkes RI, pada kelompok usia balita prevalensi anemia gizi besi pada tahun 2001 adalah 47,0%, kelompok wanita usia subur 26,4%, sedangkan pada ibu hamil 40,1%. Data WHO tidak kalah fantastis: hampir 30% total penduduk dunia diperkirakan menderita anemia. Dimana insidennya 30% pada setiap individu di seluruh dunia. Prevalensi terutama tinggi di negara berkembang karena faktor defisiensi diet dan atau kehilangan darah akibat infeksi parasit gastrointestinal. Umumnya anemia asemtomatid pada kadar hemoglobin diatas 10 gr/dl, tetapi sudah dapat menyebabkan gangguan penampilan fisik dan mental. Bahaya anemia yang sangat parah bisa mengakibatkan kerusakan jantung, otak dan organ tubuh lain, bahkan dapat menyebabkan kematian.
Sel darah merah mengandung hemoglobin yang memungkinkan mereka mengangkut oksigen dari paru-paru, dan mengantarkannya ke seluruh bagian tubuh.  Anemia menyebabkan berkurangnya jumlah sel darah merah atau jumlah hemoglobin dalam sel darah merah, sehingga darah tidak dapat mengangkut oksigen dalam jumlah sesuai yang diperlukan tubuh.
Anemia bukan suatu penyakit tertentu, tetapi cerminan perubahan patofisiologik yang mendasar yang diuraikan melalui anamnesis yang seksama, pemeriksaan fisik, dan konfirmasi laboratorium (Baldy, 2006).
Masyarakat Indonesia masih belum sepenuhnya menyadari pentingnya zat gizi, karena itu prevalensi anemia di Indonesia sekarang ini masih cukup tinggi, terutama anemia defisiensi nutrisi seperti besi, asam folat, atau vitamin B12. Setelah menentukan diagnosis terjadinya anemia, maka selanjutnya perlu disimpulkan tipe anemia itu sendiri. Penatalaksanaan anemia yang tepat sesuai dengan etiologi dan klasifikasinya dapat mempercepat pemulihan kondisi pasien.
PEMBAHASAN  

Masalah gizi di Indonesia masih banyak ditemukan, baik masalah akibat kekurangan zat gizi maupun akibat kelebihan zat gizi. Masalah gizi akibat kekurangan zat gizi diantaranya adalah anemia. Anemia adalah suatu keadaan dimana kadar hemoglobin dalam darah kurang dari nilai normal (Wahyuni 2004). Anemia di Indonesia biasanya disebabkan karena kekurangan zat besi sehingga sering disebut anemia zat besi (Gunatmaningsih 2007).
Anemia dapat menyerang segala kalangan, mulai dari balita, anak-anak, remaja, dewasa, lansia, ibu hamil sampai ibu menyusui. Laporan hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) Nasional tahun 2007, berdasarkan acuan SK Menkes No.736a tahun 1989,  di Indonesia prevalensi anemia mencapai 14,8%. Dari 33 provinsi, 20 provinsi memiliki angka prevalensi anemia lebih besar. Prevalensi anemia di perkotaan menurut Riskesdas paling tinggi terjadi pada kelompok wanita  yaitu 19,7%, diikuti kelompok laki-laki dewasa 12,1%.  Pada anak-anak prevalensinya mencapai 9,8%. WHO Guidelines menyebutkan bila prevalensi anemia dalam suatu populasi lebih dari 15%, hal itu sudah merupakan masalah kesehatan nasional.
Jenis anemia pada hasil Riskesdas tersebut sebagian besar adalah anemia mikrositik hipokromik (60,2%). Anemia mikrositik-hipokromik umumnya karena kekurangan zat besi, selain itu karena penyakit kronis tingkat lanjut, atau keracunan timbal. Anemia akibat kekurangan zat besi kemudian dikenal dengan nama anemia gizi besi.
Secara umum tingginya prevalensi anemia gizi besi antara lain disebabkan oleh beberapa faktor yaitu kehilangan darah secara kronis, asupan zat besi tidak cukup, penyerapan yang tidak adekuat dan peningkatan kebutuhan akan zat besi (Gunatmaningsih 2007).
Anemia gizi besi dapat menimbulkan berbagai dampak. Anemia pada balita dan anak dapat menyebabkan kegagalan perkembangan fisik dan kognitif, serta meningkatkan resiko morbiditas. Pada dewasa anemia dapat menyebabkan berkurangnya produktivitas. Anemia juga berkontribusi terhadap 20% kematian maternal (WHO 2011). Selain itu, anemia menyebabkan menurunnya kekebalan tubuh dan gangguan penyembuhan luka (Almatsier 2006).
Besarnya masalah anemia gizi besi menuntut adanya upaya penangulangan  agar masalah tersebut dapat diatasi. Konsultasi gizi dapat menjadi metode yang tepat dalam penanganan penyakit ini. Dengan konsultasi gizi diharapkan terjadinya peningkatan pengetahuan gizi pada  sasaran secara efektif, untuk selanjutnya diharapkan tercapainya perubahan perilaku kesehatan.

Anemia Defisiensi Besi
          Anemia merupakan  suatu keadaan kadar hemoglobin  (Hb) di dalam darah yang lebih rendah dari nilai normal. Nilai normal Hb seperti yang tercantum dalam SK Menkes RI No. 736a/Menkes/XI/1989, sebagai berikut.
Hb laki-laki dewasa                : >13 g/dl
Hb perempuan dewasa            : >12 g/dl
Hb anak-anak                          : >11 g/dl
Hb ibu hamil                           : >11 g/dl  
(Riskesdas 2007) 
Anemia gizi besi merupakan anemia yang disebabkan karena kurangnya supply zat besi di dalam sumsum tulang di mana sel darah merah  dibentuk. Hal ini dapat disebabkan karena kurangnya asupan zat besi dan bertambahnya kehilangan zat besi dari tubuh. Selain itu juga karena  bertambahnya kebutuhan dan berkurangnya penyerapan.
Menurut WHO (1992) anemia adalah suatu keadaan dimana kadar hemoglobin lebih rendah dari batas normal untuk kelompok orang yang bersangkutan.
Anemia gizi besi adalah suatu keadaan dimana terjadi penurunan cadangan besi dalam hati, sehingga jumlah hemoglobin darah menurun dibawah normal. Sebelum terjadi anemia gizi besi, diawali lebih dulu dengan keadaan kurang gizi besi (KGB). Apabila cadangan besi dalam hati menurun tetapi belum parah, dan jumlah hemoglobin masih normal, maka seseorang dikatakan mengalami kurang gizi besi saja (tidak disertai anemia gizi besi). Keadaan kurang gizi besi yang berlanjut dan semakin parah akan mengakibatkan anemia gizi besi, dimana tubuh tidak lagi mempunyai cukup zat besi untuk membentuk hemoglobin yang diperlukan dalam sel- sel darah yang baru.
Anemia Defisiensi Besi adalah suatu keadaan yang ditandai oleh penurunan kadar erithrosit atau penurunan kadar hematokrit atau penurunan kadar hemoglobin yang diakibatkan oleh kekurangan besi yang merupakan bahan utama pembentuk hemoglobin. prevalensi anemia defisiensi  besi  menurut  Riskesdas  2007  adalah  70,1%  dari  12,8%  angka  anemia  nasional. Laporan ADB menyebutkan 22 juta anak Indonesia mengidap anemia ini (2010).
Penyebab paling banyak dari anemia defisiensi besi adalah kurangnya asupan salah satu mikronutrien penting yaitu zat besi. Hasil penelitian Bagian Ilmu Gizi FKUI tahun 2008 didapatkan bahwa 92% anak sekolah mendapatkan asupan zat besi kurang dari rekomendasi harian. Hasil  penelitian  Zulaekah  (2007) didapatkan  tingkat konsumsi besi adalah 54,67%, sedangkan tingkat konsumsi vitamin C 39,21% (< 65% AKG yang dianjurkan) pada anak-anak.
Hemoglobin
Hemoglobin adalah metaloprotein (protein yang mengandung zat besi) di dalam sel darah merah  yang  berfungsi  sebagai  pengangkut  oksigen  dari  paru-paru  ke  seluruh  tubuh,  pada mamalia dan hewan lainnya. Hemoglobin juga pengusung karbon dioksida kembali menuju paru-paru untuk dihembuskan keluar tubuh.
Setiap gram hemoglobin mengandung 1,3 ml oksigen. 97% oksigen yang dibawa dari paru- paru dan hanya 3 % yang larut dalam plasma. Sehingga hemoglobin merupakan mengangkut utama oksigen di dalam tubuh (Guyton, 1996). Hemoglobin yang terpajan oksigen, akan membentuk oksihemoglobin hasil pengikatan molekul oksigen pada rantai alfa dan beta. Oksihemoglobin akan diedarkan ke seluruh tubuh. Sampai di jaringan, moleku oksigen akan dilepaskan ke jaringan,  disini menjadi deoksihemoglobin atau hemoglobin tereduksi  (Sloan,1996).
Besi
Besi adalah komponen penting dari hemoglobin yang terikat pada sel darah merah. Hemoglobin menyuplai oksigen ke otot untuk metabolisme karbohidrat dan lemak untuk menghasilkan energi Angka kecukupan besi adalah 15-18 mg perhari untuk wanita dan 10 mg per hari untuk laki-laki. Sedangkan untuk seorang olah ragawan membutuhkan besi 30% lebih banyak dari rata-rata kebutuhan orang dewasa (Anderson dan Fitzgerald, 2010).
Zat besi atau fe adalah nutrisi penting untuk tubuh manusia. Kebutuhan zat besi pada tubuh pria dewasa ialah 40 - 50 mg zat besi/kg berat badan. Bagi tubuh wanita dewasa adalah 35- 50 mg/kg berat badan. Zat besi mengambil peran penting dalam proses distribusi oksigen dalam darah tubuh manusia. Zat besi juga berfungsi dalam proses produksi haemoglobin. Zat besi juga berperan penting dalam fungsi kekebalan tubuh. Kekurangan zat besi akan semakin memperbesar potensi tubuh mudah terserang penyakit.
Zat besi adalah salah satu unsur yang diperlukan dalam proses pembentukan sel darah merah. Sel darah merah ini mengandung senyawa kimia bernama hemoglobin, yang berfungsi membawa oksigen dari paru-paru dan mengantarkannya ke seluruh bagian tubuh. Kekurangan zat besi dalam menu makanan sehari-hari dapat menimbulkan penyakit anemia gizi atau yang dikenal masyarakat sebagai penyakit kurang darah.
Metabolisme besi merupakan siklus kompleks antara penyimpanan, penggunaan, transport, penghancuran dan penggunaan kembali. Faktor utama keseimbangan besi dan metabolisme adalah:
1.        Intake atau masukan bergantung pada kuantitas masukan, Bioavailibilitas dan kemampuan penyerapan.  Penyerapan  besi  tergantung pada  mukosa intestinum,  kebutuhan tubuh,  diet, bioavailibilitas dan kecepatan produksi erithrosit. Rata-rata 5-15% pada orang dewasa. Laki- laki < wanita yaitu 6% disbanding 13%. Factor-faktor yang mempengaruhi pengambilan Fe oleh intestine adalah :
a.         Meningkatkan pengambilan Fe : Vitamin Cprotein makanan (Daging, ikan dan unggas), Kondisi  kebutuhan  meningkat  (hamil,pertumbuhan,  defisiensi),  Gula  fructose,  Asam sitrat, lisin, sistein, metionin.
b.         Menghambat  pengamblaFe  :  Fitat/oksalat,  Antacid  ,  Tannin  atau  poliphenol  lain, Calsium dan phosphor, Motilitas usus meningkat
2.      Penyimpanan Fe dalam bentuk Ferritin, Hemosiderin, Sel retikuloendotelial, Sumsum tulang.
3.      Kehilangan  Fe  melalui  feses  0,6mg/hari,  melalui  kulit  0,2-0,3mg/hari,  melalui urine 0,1mg/hari, menstruasi menyebabkan kehilangan Fe setara dengan 0,4-0,5 mg/hari.
Molekul hemoglobin terdiri dari 4 sub unit yaitu 2 rantai α dan 2 rantai ß. Masing-masing globin membentuk sebuah katong untuk molekul heme sehingga memiliki kapasitas mengikat sampai empat molekul oksigen. 2,3 DPG mengikat 2 rantai ß untuk menstabilkan molekul saat molekul berada dalam keadaan terdeoksigenasi.
Suplementasi besi berupa besi oral digunakan untuk profilaksis mupun terapi. Besi oral biasanya merupakan besi non-heme. Besi oral bisa dalam bentuk garam ferro atau ferri, namun yang paling banyak digunakan adalah garam ferro disebabkan sifat-sifatnya yang baik seperti kelarutannya yang tinggi dalam lambung, mudah diabsorbsi yaitu 3x dari penyerapan bila dalam bentuk feri, terutama pada keadaan perut kosong. Suplemen tersebut menyediakan besi non heme dan absorpsi akan banyak ketika ditelan dengan sumber vitamin C yang mempermudah penyerapan. Efek pertama suplemen besi oral pada sejumlah sel darah merah dan konsentrasi hemoglobin terjadi selama 2 minggu.



Luasan masalah anemia gizi besi
Iron Deficiency Anemia (IDA) atau lebih dikenal dengan sebutan anemia gizi besi merupakan salah satu masalah gizi yang penting di Indonesia. Masalah anemia gizi besi ini tidak hanya dijumpai dikalangan rawan seperti anak-anak, ibu hamil, dan ibu yang sedang menyusui, tetapi juga diantara orang dewasa terutama golongan karyawan dengan penghasilan rendah (Djojosoebagio, et al. 1986). Menurut De Maeyer dan Adielstegman (1985) dalam Ross dan Horton (1998), pada tahun 1985, sekitar 30 persen penduduk dunia (1.3 milyar) menderita anemia gizi besi.

Penyebab Anemia Gizi Besi
Menurut Komite Nasional PBB Bidang Pangan dan Pertanian (1992), anemia gizi besi dapat disebabkan oleh dua faktor yaitu faktor penyebab langsung dan faktor penyebab tidak langsung. Faktor penyebab langsung meliputi jumlah Fe dalam makanan tidak cukup, absorbsi Fe rendah, kebutuhan naik serta kehilangan darah, sehingga keadaan ini menyebabkan jumlah Fe dalam tubuh menurun. Menurunnya Fe (zat besi) dalam tubuh akan memberikan dampak yang negatif bagi fungsi tubuh. Hal ini dikarenakan zat besi merupakan salah satu zat gizi penting yang terdapat pada setiap sel hidup, baik sel tumbuh-tumbuhan, maupun sel hewan. Di dalam tubuh, zat besi sebagian besar terdapat dalam darah yang merupakan bagian dari protein yang disebut hemoglobin di dalam sel-sel darah merah, dan disebut mioglobin di dalam sel-sel otot.
Hemoglobin berfungsi mengangkut oksigen dari paru-paru ke seluruh sel tubuh, sedangkan mioglobin mengangkut dan menyimpan oksigen untuk sel-sel otot. Besi yang ada di dalam tubuh berasal dari tiga sumber yaitu besi yang diperoleh dari hasil perusakan sel-sel darah merah (hemolisis), besi yang diambil dari penyimpanan dalam tubuh, dan besi yang diserap dari saluran pencernaan.
Dari ketiga sumber tersebut, besi hasil hemolisis merupakan sumber utama. Pada manusia yang normal, kira-kira 20-25 mg besi per hari berasal dari besi hemolisis, dan hanya sekitar 1 mg berasal dari makanan. Di dalam tubuh manusia, jumlah zat besi sangat bervariasi tergantung pada umur, jenis kelamin, dan kondisi fisiologis tubuh. Pada orang dewasa sehat, jumlah zat besi diperkirakan lebih dari 4000 mg dengan sekitar 2500 mg ada dalam hemoglobin. Sebagian zat besi dalam tubuh (sekitar 1000 mg) disimpan di dalam hati dengan bentuk ferritin. Pada saat konsumsi zat besi dari  makanan tidacukup,  zat besi  ferritin dikeluarkan untuk memproduksi hemoglobin.
Ketidakcukupan jumlah Fe dalam makanan terjadi karena pola konsumsi makan masyarakat Indonesia masih didominasi sayuran sebagai sumber zat besi yang sulit diserap, sedangkan daging dan bahan pangan hewani sebagai sumber zat besi yang baik (heme iron) jarang dikonsumsi terutama oleh masyarakat pedesaan. Menurut Almatsier (2001), pada umumnya, besi di dalam daging, ayam, dan ikan mempunyai ketersediaan biologik yang tinggi, besi di dalam serealia dan kacang-kacangan mempunyai ketersediaan biologik yang sedang, dan besi yang terdapat pada sebagian besar sayur-sayuran terutama yang mengandung asam oksalat tinggi seperti bayam mempunyai ketersediaan biologik yang rendah.
Faktor  lain  yang  merupakan  penyebab  anemia  gizi  besi  adalah  faktor penyebab tidak langsung, yang meliputi praktek pemberian makanan yang kurang baik, komposisi makanan kurang beragam, pertumbuhan fisik, kehamilan dan menyusui, pendarahan kronis, parasit, infeksi, pelayanan kesehatan yang rendah, terdapatnya  zat  penghambat  absorbsi,  serta  keadaan  sosial  ekonomi  masyarakat rendah (Komite Nasional PBB Bidang Pangan dan Pertanian, 1992). Keadaan sosial ekonomi meliputi tingkat pendidikan, tingkat pengetahuan, besar keluarga, pekerjaan, pendapatan, dan lain-lain. Tingkat ekonomi (pendapatan) yang rendah dapat mempengaruhi pola makan. Pada tingkat pendapatan yang rendah, sebagian besar pengeluaran ditujukan untuk memenuhi kebutuhan pangan dengan berorientasi pada jenis pangan karbohidrat. Hal ini disebabkan makanan yang mengandung banyak karbohidrat lebih murah dibandingkan dengan makanan sumber zat besi, sehingga kebutuhan zat besi akan sulit terpenuhi, dan dapat berdampak pada terjadinya anemia gizi besi.
Seperti yang telah disebutkan bahwa salah satu penyebab anemia gizi besi adalah adanya zat penghambat absorbsi. Menurut Almatsier (2001), terdapat beberapa makanan  yang  mengandung  zat  penghambat  absorbsi  besi  diantaranya  adalah beberapa jenis sayuran yang mengandung asam oksalat, beberapa jenis serealia dan protein kedelai yang mengandung asam fitat, serta teh dan kopi yang mengandung tanin. Bila besi tubuh tidak terlalu tinggi, sebaiknya tidak minum teh atau kopi pada waktu makan. Selain itu, kalsium dosis tinggi berupa suplemen juga dapat menghambat absorbsi besi.
Dalam kaitannya dengan mekanisme absorbsi, dikenal ada dua macam besi dalam makanan, yaitu besi heme  dan besi non heme . Besi heme  diambil oleh sel mukosa dan dipecah di dalam sel oleh suatu enzim pembelah heme . Adapun besi non heme  mungkin diambil dalam bentuk ion oleh penerima pada sel mukosa usus atau oleh pengangkut protein yang berada di permukaan luminal sel. Absorbsi besi non heme   sangat dipengaruhi oleh status gizi serta oleh berbagai faktor makanan. Sedangkan absorbsi besi heme  tidak dipengaruhi status gizi serta tidak dipengaruhi oleh  faktor-faktor  lain  yang  mempengaruhi  absorbsi  besi  non  heme.

Dampak Anemia Gizi Besi
Dampak yang ditimbulkan akibat anemia gizi besi sangat kompleks. Menurut Ros & Horton (1998), Anemia Gizi Besi berdampak pada menurunnya kemampuan motorik anak, menurunnya skor IQ, menurunnya kemampuan kognitif, menurunnya kemampuan mental anak, menurunnya produktivitas kerja pada orang dewasa, yang akhirnya berdampak pada keadaan ekonomi, dan pada wanita hamil akan menyebabkan buruknya persalinan, berat bayi lahir rendah, bayi lahir premature, serta dampak negatif lainnya seperti komplikasi kehamilan dan kelahiran. Akibat lainnya dari anemia gizi besi adalah gangguan pertumbuhan, gangguan imunitas serta rentan terhadap pengaruh racun dari logam-logam berat.
Besi memegang peranan dalam sistem kekebalan tubuh. Respon kekebalan sel oleh limfosit-T terganggu karena berkurangnya pembentukan sel-sel tersebut, yang kemungkinan disebabkan oleh berkurangnya sintesis DNA. Berkurangnya sintesis DNA ini disebabkan oleh gangguan enzim reduktase ribonukleotide yang membutuhkan besi untuk dapat berfungsi. Disamping itu, sel darah putih yang menghancurkan bakteri tidak dapat bekerja secara efektif dalam keadaan tubuh kekurangan besi. Enzim lain yang berperan dalam sistem kekebalan tubuh yaitu mieloperoksidase juga akan terganggu fungsinya akibat defisiensi besi seperti yang telah disebutkan di atas bahwa anemia gizi besi erat kaitannya dengan penurunan kemampuan motorik (dampak fisik). Dilihat dari dampak fisik Anemia gizi besi dapat menyebabkan rasa cepat lelah. Rasa cepat lelah terjadi karena pada penderita anemia gizi besi pengolahan (metabolisme) energi oleh otot tidak berjalan sempurna karena otot kekurangan oksigen, dimana oksigen yang dibutuhkan oleh sel-sel otot ini diangkut oleh zat besi dalam darah (hemoglobin). Untuk menyesuaikan dengan berkurangnya jatah oksigen, maka otot membatasi produksi energi. Akibatnya, mereka yang menderita anemia gizi besi akan cepat lelah bila bekerja karena cepat kehabisan energi.
Cepatnya rasa lelah yang dialami oleh para pekerja yang menderita anemia gizi  besi  akan  menurunkan  produktivitas  kerja.  Menurunnya  produktivitas  kerja, selain disebabkan oleh menurunnya hemoglobin darah, juga disebabkan oleh berkurangnya enzim-enzim mengandung besi, dimana besi sebagai kofaktor enzim- enzim yang terlibat dalam metabolisme energi tersebut.
Studi mengenai anemia pada pekerja wanita yang dilakukan di Jakarta, Tangerang, Jambi dan Kudus, membuktikan bahwa anemia dapat menurunkan produktivitas kerja. Dilaporkan bahwa anemia menurunkan produktivitas 5-10 persen dan kapasitas kerjanya 6.5 jam per minggu. Padahal, produktivitas kerja ini sangat penting peranannya dalam menentukan nilai pendapatan per kapita. Selain menurunkan produktivitas kerja yang umumnya terjadi pada penderita usia dewasa, anemia gizi besi juga mengakibatkan dampak negatif terhadap anak usia sekolah. Anak usia sekolah yang menderita anemia gizi besi akan mengalami penurunan kemampuan kognitif, penurunan kemampuan belajar, dan pada akhirnya akan  menurunkan  prestasi  belajar.  Menurut  Lozzoff  dan  Youdim  (1988)  dalam Almatsier  (2001),  menyatakan  bahwa  terdapat  hubungan  antara  defisiensi  besi dengan fungsi otak.
Defisiensi besi berpengaruh negatif terhadap fungsi otak, terutama terhadap fungsi sistem neurotransmitter (penghantar syaraf). Akibatnya, kepekaan reseptor syaraf dopamin berkurang yang dapat berakhir dengan hilangnya reseptor tersebut. Daya konsentrasi, daya ingat, dan kemampuan belajar terganggu, ambang batas rasa sakit meningkat, fungsi kelenjar tiroid dan kemampuan mengatur suhu tubuh juga menurun.
Dampak lebih lanjut akibat anemia gizi besi adalah menurunnya status gizi seseorang. Status gizi dapat mempengaruhi kualitas manusia, produktivitas kerja, dan menurunnya pendapatan. Menurut Djojosoebagio et al. (1986), keadaan ini akan menimbulkan akibat yang lebih luas baik pada aspek fisik, mental, kemampuan berfikir maupun aspek sosial ekonomi dan sumberdaya manusia pada umumnya.

Penanggulangan Anemia Gizi Besi
Penanggulangan  Anemia GizBesi  yang  telah dilakukameliputi suplementasi besi dan fortifikasi besi pada beberapa bahan makanan, serta upaya lain yang dilakukan adalah peningkatan konsumsi makanan sumber zat besi. Program pemberian  suplemen  zat  besi  telah  dilakukasejak  tahun  1974,  terhadap  wanita hamil.  Program  ini  meliputi  seluruh  wanita  hamil  yang  tersebar  di  beberapa puskesmas dan posyandu. Tablet suplemen ini sebagian besar berasal dari UNICEF Selain  pada  wanita  hamil,  suplemen  besi  juga  diberikan  pada  anak  dengan  usia dibawah lima tahun, yaitu berupa sirup besi (Soekirman et al., 2003).
Fortifikasi besi lebih sulit dilakukan daripada fortifikasi vitamin A dan zat iodium, karena sifat kimiawi zat besi yang beragam dan memerlukan penyesuaian dengan pangan yang akan difortifikasi. Bahan pangan yang akan difortifikasi harus memenuhi beberapa persyaratan diantaranya dihasilkan oleh pabrik tertentu, dikonsumsi oleh banyak orang termasuk kelompok sasaran, harga setelah difortifikasi terjangkau, rupa dan rasa tidak berubah, serta sesuai dengan sifat kimiawi zat fortifikan. Beberapa bahan pangan yang telah difortifikasi adalah tepung terigu dan garam.
Menurut Muhilal dan Karyadi (1980), pelaksanaan fortifikasi tingkat nasional harus melibatkan banyak departemen dalam pemerintahan, antara lain Departemen Kesehatan yang menentukan kadarnya, Departemen Perindustrian yang menangani proses fortifikasi, serta Departemen Perdagangan yang menangani penyalurannya. Keuntungan fortifikasi besi adalah bahwa zat besi dapat mencapai sasaran untuk semua golongan umur. Terdapat beberapa hal yang dapat mendukung kebijakan fortifikasi. Dari pihak pemerintah, perlu adanya subsidi pada tahap awal penerapan   teknologi   fortifikasi.   Departemen   Kesehatan   yang  jug merupakan lembaga pemerintah harus terus-menerus melakukan pemasaran sosial mengenai bahan-bahan yang telah mengalami fortifikasi. Disamping lembaga-lembaga yang ada di dalam negeri, lembaga-lembaga Internasional juga harus melakukan  dukungan yaitu dengan melakukan studi efikasi untuk mengetahui keefektifan dari suatu bahan yang telah difortifikasi. Selain dengan suplementasi dan fortifikasi, penanggulangan anemia gizi besi yang terpenting adalah dengan memperhatikan pola makan, yaitu menerapkan pola makan yang baik dan bergizi seimbang. Dalam memilih makanan sumber zat besi, selain memperhatikan jumlahnya yang terdapat dalam makanan, juga memperhatikan daya serap dan nilai biologisnya. Daya serap dan nilai biologis makanan dipengaruhi oleh empat hal, yaitu jumlah kandungan zat besi, bentuk kimia fisik zat besi, adanya makanan lain yang memacu atau menghambat absorbsi zat besi serta cara pengolahan makanan.
Dengan memperhatikan pola makan, diharapkan kebutuhan zat besi pada masing-masing individu dapat terpenuhi sebagaimana yang dibutuhkan. Menurut Kartono dan Soekatri (2004) kebutuhan besi per orang per hari untuk bayi (0-11 bulan) adalah 0.5-7 mg, anak usia 1-9 tahun adalah 8-10 mg, pria 10-12 tahun adalah 13 mg, pria usia 13-15 tahun adalah 19 mg, pria usia 16-18 tahun adalah 15 mg, pria usia 19-65 tahun keatas adalah 13 mg, wanita usia 10-12 tahun adalah 20 mg, wanita usia 13-49 tahun adalah 26 mg, wanita usia 50-65 tahun keatas adalah 12 mg, untuk wanita hamil ditambah 9-13 mg dari kebutuhan normal, sedangkan untuk wanita menyusui ditambah 6 mg dari kebutuhan normal.
Menurut Winarno (2002), jumlah besi yang diluarkan tubuh sekitar 1.0 mg per hari, dan untuk wanita masih ditambah 0.5 mg hilang karena menstruasi. Adapun jumlah besi yang diserap hanya sekitar 10%. Perbaikan dalam gizi dan kesehatan tenaga  kerja  akan  meningkatkan  efisiensi  kerja  melalui  peningkatan  kemampuan individunya. Pengaruh program kesehatan serta gizi terhadap penduduk usia muda akan terlihat pada peningkatan GNP di masa depan. Peningkatan GNP terjadi karena adanya pertumbuhan ekonomi, yaitu dengan dengan bertambahnya tingkat partisipasi angkatan kerja dan secara tidak langsung melalui tingkat partisipasi dalam dunia pendidikan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar