PROSTITUSI DIPATI
BY: Ns viera
A. Pengertian prostitusi
dan prostitute
Pelacuran yang sering disebut
sebagai prostitusi (dari bahasa Latin pro-stituere atau prostauree) berarti membiarkan
diri berbuat zina, melakukan persundalan, pencabulan dan pergundakan (Kartono,
1981). Sementara itu Bonger (1950) mengatakan prostitusi adalah gejala
kemasyarakatan dengan wanita penjual diri melakukan perbuatan-perbuatan seksual
sebagai mata pencaharian.
Sedangkan P.J deBruine van Amstel
menyatakan prostitusi adalah penyerahan diri dari wanita kepada banyak
laki-laki dengan pembayaran. Sejalan dengan itu pula, Iwan Bloch berpendapat,
pelacuran adalah suatu bentuk perhubungan kelamin di luar pernikahan dengan
pola tertentu, yakni kepada siapapun secara terbuka dan hampir selalu dengan
pembayaran baik untuk persebadanan maupun kegiatan seks lainnya yang memberi
kepuasan yang diinginkan oleh yang bersangkutan.
Sementara itu Commenge mengatakan
prostitusi atau pelacuran itu adalah suatu perbuatan seorang wanita
memperdagangkan atau menjual tubuhnya, yang dilakukan untuk memperoleh bayaran
dari laki-laki yang datang; dan wanita tersebut tidak ada pencaharian nafkah
lainnya kecuali yang diperolehnya dari perhubungan sebentar-sebentar dengan
banyak orang. Hal yang hampir sama disampaikan oleh Moeliono bahwa pelacuran
adalah penyerahan badan wanita dengan menerima bayaran kepada orang banyak guna
pemuasan nafsu seksual orang-orang itu.
Berdasarkan Pola Dasar Pembangunan
Kesejahteraan Sosial tahun 1996, wanita tuna susila adalah
seorang wanita yang melakukan hubungan seksual di luar pernikahan
denga tujuan untuk mendapatkan imbalan jasa. Dari segi agama, pelacuran
merupakan perbuatan perzinahan karena melakukan hubungan seks di luar
pernikahan. Pada umumnya setiap agama menentang perbuatan zina. Dalam agama
Islam, larangan berzina tercantum dalam Al Qur’an surat Al Isra ayat 32 dan
surat An Nur ayat 2, didalam ayat-ayat tersebut ditekankan, bahwa berzina merupakan
dosa besar, perbuatan terkutuk dan sangat keji.
Semua yang disebutkan di atas adalah
beberapa batasan mengenai prostitusi atau pelacuran yang dikemukakan oleh para
ahli, lembaga pemerintah dan dari segi agama. Jadi, yang dimaksud dengan
prostitusi, pelacuran, penjajaan seks atau persundalan adalah kegiatan
penyerahan tubuh oleh wanita kepada banyak laki-laki dengan imbalan pembayaran
guna disetubuhi dan sebagai pemuas nafsu seks si pembayar, yang dilakukan di
luar pernikahan. Sedangkan yang dimaksud prostitute, pelacur, wanita tuna
susila, wanita penjaja seks adalah wanita yang pekerjaannya menjual diri kepada
siapa saja atau banyak laki-laki yang membutuhkan pemuasan nafsu seksual, atau
dengan kata lain, adalah wanita yang melakukan hubungan seksual dengan banyak
laki-laki di luar pernikahan dan si wanita memperoleh imbalan uang dari
laki-laki yang menyetubuhinya.
B. Pandangan-pandangan tentang prostitusi
Para ahli ilmu sosial
sepakat mengkategorikan pelacuran ke dalam “patologi sosial” atau penyakit masyarakat
yang harus diupayakan penanggulangannya. Patologi sosial adalah ilmu tentang
gejala-gejala sosial yang dianggap “sakit”, disebabkan oleh faktor-faktor
sosial. Menurut Kartini Kartono (1981), patologi sosial adalah semua tingkah
laku yang bertentangan dengan norma kebaikan, stabilitas lokal, pola
kesederhanaan, moral, hak milik, solidaritas kekeluargaan, hidup rukun
bertetangga, disiplin kebaikan dan hukum formal. Aktivitas menjajakan seks atau
pelacuran dipandang masyarakat sebagai sisi hitam dari kehidupan sosialnya.
Warna pandangan ini menyebabkan kita melihat semacam keremang-remangan dalam
kehidupan pelacuran.
Meskipun demikian
dianggap buruk, pada kenyataanya fenomena prostitusi sudah ada sejak dulu.
Dalam memandang masalah pelacuran ini ada semacam double standard atau standar
ganda. Seperti yang dikatakan oleh Dr. J. Verkuyl (dalam Hull, Sulistyaningsih
dan Jones; 1997) baik dahulu maupun sekarang kita sering berhaluan dua. Kita
melarang pelacuran, tetapi sebaliknya kita terima juga sebagai sesuatu yang tak
dapat dielakkan. Bagaimanapun pandangan masyarakat terhadap kehidupan
pelacuran, kenyataan tetap membuktikan bahwa pelacuran dalam sistem sosial
masyarakat kehadirannya sejak berabad-abad yang lalu dan tiada satu kekuatanpun
yang mampu menghapusnya dari muka bumi ini.
C. Sejarah prostitusi di Dukuhseti
Adanya praktek pelacuran
di Desa Dukuhseti dan Desa Kembang Kecamatan Dukuhseti Kabupaten Pati, Propinsi
Jawa Tengah dikarenakan adanya beberapa peristiwa yang terjadi, yaitu adanya
pekerja migran orang-orang Cina yang datang melalui Pelabuhan Juwana yang
jaraknya dekat dengan Desa Dukuh Seti. Pekerja migran lain adalah datangnya
orang-orang Portugis yang dapat dilihat dengan adanya bangunan Benteng
Portugis. Para pekerja ini lalu tinggal lama di desa itu dan banyak berhubungan
dengan wanita-wanita di sekitar mereka tinggal dan ada pula yang menikahi
wanita-wanita tersebut. Selain pekerja migran dari luar negeri juga banyak
terdapat pekerja migran yang berasal dari daerah lain dengan didirikannya
pabrik gula, perkebunan karet dan jati.
Penyebab lain tumbuh
suburnya pelacuran sejak adanya kampanye partai politik yang dimulai tahun 1972
dimana bila ada pejabat-pejabat yang datang baik dari kabupaten atau yang lebih
tinggi maka gadis-gadis di desa tersebut diminta menjadi pagar betis
upacara-upacara tertentu, tetapi kemudian atas perintah Kepala Desa juga
dijadikan pemuas nafsu pejabat-pejabat tadi. Kejadian tersebut berlangsung
terus dan akhirnya mereka menjadi pelacur karena ada iming-iming mendapat uang
banyak. Di Dukuhseti, pialang seks malah bergerak leluasa.
Di desa ini Prof.
Koentjoro pernah melakukan penelitian dengan berdiam di desa tersebut selama
beberapa bulan. Di situ ia melihat lebih jelas bahwa kesulitan ekonomi bukanlah
faktor dominan yang mendorong wanita jadi pelacur. Yang malah sangat menentukan
adalah faktor budaya. Dan ini terkait pada sebuah legenda yang sampai sekarang
masih hidup di masyarakat sana.
Syahdan, menurut
legenda, dahulu kala ada seorang bernama Brojoseti. Tokoh pendiri desa ini
beristrikan wanita yang amat cantik. Namun, sang istri cantik ternyata main
serong dan kepergok suaminya. Brojoseti murka: Kutukannya jatuh pada keturunan
si istri beserta seluruh isi kampung, yang mulai saat itu akan senantiasa
berbuat serong (Hull, Sulistyaningsih dan Jones, 1997). Dan rakyat masih sangat
percaya akan cerita ini. Tapi mungkin juga itu hanya satu justifikasi untuk
melembagakan budaya serong. Yang pasti, mereka sangat longgar, sejauh yang
menyangkut hubungan seks. Bagi mereka, melacur itu sudah
merupakan suratan takdir.
D. Motivasi dalam berprostitusi
Tjahjo Purnomo dan
Ashadi Siregar (1983) bahwa faktor-faktor yang menyebabkan seorang wanita
melacurkan diri antara lain :
1.
Tekanan ekonomi, karena tidak ada
pekerjaan terpaksa mereka hidup menjual diri sendiri dengan jalan dan cara yang
paling mudah
2.
Karena tidak puas dengan posisi yang ada.
Walaupun sudah mempunyai pekerjaan tapi belum puas juga karena tidak membeli
barang-barang perhiasan yang bagus dan mahal
3.
Karena kebodohan, tidak mempunyai
pendidikan atau intelegensi yang baik
4.
Cacat jiwa
5.
Karena tidak puas dengan kehidupan
seksualnya atau hiperseksual
Sedangkan Kartono (1981) menjelaskan adanya beberapa
faktor yang menjadi penyebab timbulnya prostitusi antara lain:
1.
Longgarnya peraturan/perundangundangan
yang melarang pelacuran seperti dalam KUHP. Pelaksanaan Undang-Undang ini
kenyataannya dapat dijadikan sumber pendapatan bagi pihakpihak tertentu atau
dijadikan alat untuk memeras mereka
2.
Adanya keinginan dan dorongan manusia untuk
menyalurkan kebutuhan seks
3.
Komersialisasi dari seks
4.
Dekadensi moral, merosotnya anormanorma
susila dan nilai-nilai agama
5.
Perkembangan kota-kota, daerah pelabuhan
dan industrialisasi yang sangat cepat
6.
Bertemunya bermacam-macam kebudayaan asing
dan kebudayaan daerah.
Selain itu, Simanjuntak (1981) juga memapaerkan
sejumlah faktor penyebab terjadinya pelacuran. Faktor-faktor itu antara lain :
1. Faktor sosial.
Berlangsungnya perubahanperubahan sosial yang cepat dan perkembangannya
tidak sama dengan kebudayaan mengakibatkan ketidakmampuan orang-orang untuk
menyesuaikan diri dengan perubahan sosial yang dihadapinya. Seringkali ditemui
masalah sosial yang berbentuk keresahan individu, tingkah laku abnormal atau
menyimpang, penampilan-penampilan peran sosial yang kurang wajar atau memadai,
serta beberapa identitas lain yang dikatakan menyimpang seperti terdapat dalam
kriminalitas, penyakit mental dan sebagainya.
2. Faktor psikologis.
Berbagai kelemahan jiwa tertentu yang dialami oleh seseorang baik yang
berwujud ketidakstabilan maupun tindakan penyesuaian diri yang negatif,
seringkali banyak diakibatkan oleh kekecewaan atau terjadinya kepahitan hidup
pada saat-saat atau kejadian yang telah lampau dapat mengakibatkan seseorang
terjerumus dalam kegiatan pelacuran.
3. Faktor ekonomis.
Manusia adalah makhluk sosial yang didalam hidupnya berhubungan dengan
orang lain. Hal itu dilakukan dalam rangka memenuhi kehidupan yaitu untuk
mempertahankan kelangsungan hidup dalam lingkungannya. Demikian sebaliknya
kondisi lingkungan turut mempengaruhi tindakan-tindakannya dalam berhubungan
dengan orang lain. Kondisi lingkungan seperti ini dapat mengakibatkan seseorang
menjadi pelacur.
4. Faktor biologis.
Dengan meningkatnya unsur seorang wanita, maka organ-organ maupun hormon
seks akan semakin matang, sehingga dorongan seksnya tidak terpuaskan dapat
mengakibatkan terjerumus dalam kegiatan pelacuran.
5. Faktor-faktor lain
Faktor-faktor lainnya seperti rendahnya tingkat pendidikan, kondisi
psiko-seksual yang luar biasa dan hiperseks banyak menimbulkan seseorang
terjerumus dalam praktek pelacuran.
Hal yang berbeda
dinyatakan oleh Flowers (dalam Miller, 2000) prostitusi (remaja) dilatar
belakangi peristiwa larinya dia dari rumah, keterlibatan germo yang
memanfaatkannya, dan pelecehan atau kekerasan yang dialaminya sewaktu kecil.
Flowers juga menyebutkan hubungan antara industri pornogafi dan “perdagangan
seks global”.
Di Indonesia tidak ada satupun pasal dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana
yang secara tegas mengancamkan pidana terhadap para pelacur. Hanya ada 3 pasal
yang mengancamkan hukuman pidana kepada siapapun yang pencaharian atau
kebiasaannya dengan sengaja mengadakan atau memudahkan perbuatan cabul dengan
orang lain (germo), ini diancam dalam Pasal 296 KUHP. Kemudian yang memperniagakan perempuan
(termasuk laki-laki) yang belum dewasa, terdapat dalam pasal 297 KUHP. Dan yang
terakhir adalah souteneur, yaitu ‘kekasih’ atau pelindung yang kerap kali juga
berperan sebagai perantara atau calo dalam mempertemukan pelacur dan langganannya
dan mengambil untung dari pelacuran, diancam dalam pasal 506 KUHP
(Soesilo,1964). Sehingga dengan demikian si pelacur sendiri tidak secara tegas
diancam oleh hukum pidana, karena memang prostitution itself is not a crime
(Winn, 1974).
Dari penelitian yang
dilakukan oleh Dwi atmaja yang dilakukan pada kelima reponden, kesemuanya
memiliki unsur-unsur yang sama, yaitu faktor ekonomi. Akan tetapi, jika miskin
menjadi penyebab, mengapa semua perempuan yang miskin tidak menjadi pekerja
seks komersial? Dari situ bisa diketahui bahwa masalah ekonomi bukanlah
satu-satunya alasan.
Penelitian Prof.
Koentjoro sebelumnya yang menyatakan bahwa faktor budaya menjadi penyebab lain
dari pelacuran yang terjadi. Hasil studi beliau menyatakan bahwa prostitusi
sudah terjadi sejak lama saat buruh imigran Cina dan Portugis datang, hingga
era modern saat pelacuran menjadi alat kekuasaan. Pola yang sama ditemukan
(Andaya, 1998) pada wanita-wanita di Asia Tenggara yang dinikah dengan migran
asing hanya untuk kebutuhan seksualnya yang pada akhirnya memunculkan
prostitusi.
Fakta tentang prostitusi
sebagai media untuk melanggeng dan memperlancar kekuasaan juga diproteskan oleh
seorang wanita Amerika, yang juga seorang prostitute, di tahun 1800an. Dia
menyatakan kemunafikan aparat pemerintah yang berteriak menentang prostitusi
sedang disaat yang sama memperoleh keuntungan darinya. Jika dilihat, apa yang
terjadi di negara lain, di masa yang lain juga, terjadi pula di Dukuhseti,
seperti yang diampaikan Prof. Koentjoro bahwa saat kampanye partai politik yang
di tahun 1972, ketika pejabat-pejabat dari kabupaten atau yang lebih tinggi,
gadis-gadis di desa tersebut diminta menjadi pagar betis upacara-upacara
tertentu, yang kemudian atas perintah Kepala Desa juga dijadikan pemuas nafsu pejabat-pejabat
tadi. Hal seperti ini juga berperan dalam memunculkan prostitusi.
Selain faktor itu juga
ada faktor modelling. Anggapan perempuan di daerah tersebut bahwa kekayaan dan
kemewahan adalah segalanya telah membuat praktek pelacuran semakin subur,
dengan kenyataan kehidupan mereka bertambah baik membuat iri perempuan lain dan
akhirnya juga terjun sebagai pelacur. Persaingan diantara mereka dapat terlihat
dari adanya perilaku yang ingin memamerkan kekayaannya melalui rumah, perabotan
rumah tangga yang mewah, mobil, dan lain-lain. Dengan melihat pelacur lain yang
berhasil maka diikuti pelacur lain untuk lebih banyak menghasilkan uang bahkan
diikuti oleh perempuan lain yang tertarik menjadi pelacur. Hal ini sesuai
dengan teori belajar sosial atau modelling yang dikemukakan oleh Bandura.
Dari informasi yang
diterima dapat diketahui ada perbedaan kondisi rumah para pelacur dengan
penduduk desa biasa yang terlihat secara nyata bahwa rumah-rumah para pelacur
terlihat lebih mewah dengan lantai keramik, bentuknya hampir sama yaitu bergaya
modern, ada yang mempunyai parabola, mobil, isi rumah modern dan lengkap.
Sedangkan penduduk lain terlihat seperti rumah-rumah penduduk pedesaan yang
sederhana dengan lantai biasa (bukan keramik) dan bahkan ada yang masih berlantai
tanah, dinding dari bambu serta beratap genteng biasa. Disini modelling juga
terjadi saat menjadi prostitute atau pelacur seolah-olah dianggap menjadi cara
yang paling cepat dan mudah dalam mendapatkan kemakmuran.
Informasi menarik
lainnya adalah adanya satu Mesjid yang dibiayai pembangunannya oleh para
pelacur di Desa Blingoh. Selain itu pada saat menjelang lebaran para pelacur
yang bekerja di kota-kota besar akan pulang ke desa dengan membagikan hadiah
berupa pakaian dan makanan yang dibawa dengan mobil truk lalu diberikan keadaan
masyarakat setempat yang kurang mampu. Kehidupan sosial masyarakat berjalan
dengan baik, adanya saling menolong antara yang mampu dan yang kurang mampu,
komunikasi diantara mereka juga tidak mengalami kesulitan. Selain turut
membangun rumah ibadah, mereka juga turut membantu pembangunan fisik desa serta
turut menyumbang apabila ada perayaan hari – hari besar, misalnya perayaan 17
Agustus. Diterimanya sumbangan dari prostitute itu secara tidak langsung juga
menunjukkan bahwa mereka diterima, dan itu menjadi penguat atau menjadi
reinforcement untuk mereka tetap berada di dunia itu.
Beberapa perilaku
masyarakat desa yang terkait dengan praktek pelacuran, antara lain :
1.
Bahwa laki-laki di desa tersebut banyak
yang malas bekerja lalu mereka menikahi wanita yang berpotensi secara fisik
untuk melacur dan istrinya disuruh melacur dan dari situlah ia mendapatkan
uang, ada pula laki-laki yang kerjanya mencari wanita-wanita yang mau disuruh
melacur lalu dikirim ke Jakarta dan dari mengirim wanita-wanita tersebut kepada
mucikari ia mendapatkan uang. Wanita yang menjadi pelacur sebelumnya menikah
terlebih dahulu dan pada waktu menikah kebanyakan berusia remaja atau sekitar
belasan tahun. Setelah menikah ada pula yang sampai mempunyai anak, kemudian
menjadi pelacur baik di desa mereka sendiri atau ke Jakarta.
2.
Ada dua jenis pelacuran di desa Dukuhseti,
yaitu mereka yang berada di Jakarta, atau kota besar lainnya, tetapi
sewaktu-waktu pulang dan membangun rumah, membeli sawah serta barang-barang
mewah perabotan rumah tangga, dan ada pula yang menetap di desa. Dengan
penghasilan dari melacur, kehidupan sosial ekonomi mereka berubah 180 derajat
dari yang hidupnya hanya cukup untuk sehari-hari sampai mempunyai materi yang
cukup dan bisa membeli barang-barang mewah yang sebelumnya tidak mereka miliki.
Bagi pelacur yang menetap di desa mempunyai kebiasaan, menurut masyarakat desa
memakai istilah “sandal” yaitu apabila di depan rumah/pintu ada sandal
tergeletak itu berarti bahwa istri dari pemilik rumah tersebut sedang menerima
“tamu” laki-laki lain.
3.
Terdapat persaingan antar pelacur dalam
mengejar materi terutama rumah dan perabotan rumah tangga yang tidak mau
ketinggalan jaman, bentuk rumah dan dekorasi ada kesamaan. Dengan adanya
persaingan ini mendorong mereka mencari uang sebanyak-banyaknya agar tidak
ketinggalan dari pelacur lain dalam hal materi.
4.
Wanita-wanita pelacur yang beraktivitas di
luar desa, misalnya Jakarta, apabila mereka kembali ke rumah maka menjadi milik
suami sepenuhnya dan tidak melacur selama berada di rumah. Namun demikian
banyak pula terjadi perceraian yang disebabkan karena suami ketahuan
berselingkuh dengan wanita lain dan mau menjadikan wanita simpanannya sebagai
istrinya.
5.
Wanita-wanita pelacur yang berhasil di
luar daerah akan membawa teman-teman atau saudara untuk dibawa ke kota dan
dijadikan pelacur. Hal ini karena tergiur oleh berlimpahnya harta dari hasil
melacur. Praktek seperti ini telah mulai ramai sejak sekitar tahun 1970-an
dikarenakan kehidupan mereka di desa yang miskin dan kecintaan terhadap materi
sehingga menjadikan jalan pintas karena tidak mau bekerja keras tetapi ingin
hidup mewah.
Selain itu ada beberapa pandangan/pendapat baik
pelacur maupun suami mereka mengenai perilaku pelacuran yang mereka lakukan,
yaitu :
1.
Wanita-wanita pelacur yang mempunyai anak
tidak menginginkan anaknya menjadi pelacur juga, bahkan mereka menyekolahkan
anaknya di luar desa mereka, biasanya mereka berhent melacur apabila anak-anak
mereka sudah duduk di bangku SMU. Selain itu bagi laki-laki yang sering
menggunakan jasa pelacur akan menghentikan perilaku ini apabila anak-anak
mereka sudah menjelang dewasa atau setingkat SMU karena takut ketahuan oleh
anaknya.
2.
Para wanita pelacur dan sebagian
masyarakat desa yang menganggap bahwa pelacuran itu tidak melanggar norma agama
karena mereka merasa tidak merugikan orang lain dengan alasan mereka berbuat
demikian karena dibayar. Sebagian laki-laki di desa tersebut juga beranggapan
bahwa konsep pernikahan dan keperawanan tidak penting artinya karena memang
tidak memahaminya. Bagi mereka yang penting adalah dapat berhubungan seksual
dengan memuaskan.
3.
Wanita-wanita pelacur banyak yang merasa
berhutang budi kepada mereka yang justru menjerumuskan ke praktek pelacuran
dengan alasan sejak mereka menjadi pelacur kehidupan sosial ekonomi keluarganya
menjadi meningkat dan dapat menghidupi seluruh keluarganya.
Dengan memasuki dunia pelacuran, seorang perempuan di
daerah tersebut dapat menghidupi keluarganya dengan mencukupi bahkan dapat
menyumbang pembangunan desa, perayaan hari-hari besar, menyumbang untuk
masyarakat kurang mampu bahkan pembangunan rumah ibadah. Laki-laki yang tidak
mempunyai pekerjaan dan menikah hanya untuk mendapatkan keuntungan dari
istrinya yang melacur merupakan salah satu indikator merosotnya nilai-nilai,
moral dan agama. Masyarakat justru ada yang mendukung perilaku-perilaku
tersebut dan inilah faktor penguat kegiatan pelacuran terus berlangsung.
E. Studi
tentang pelacuran
Keseimbangan dalam masyarakat
merupakan suatu keadaan yang diidam-idamkan oleh setiap warga masyarakat. Dalam
keadaan demikian itu para warga masyarakat merasa akan ada ketenteraman karena
tidak ada pertentangan pada kaidah-kaidah dalam nilai-nilai yang berlaku di
dalam masyarakat, tetapi adakala-nya keseimbangan itu mengalami ketegangan
karena tidak ada kesusilaan atau terjadi benturan norma-norma yang berlaku
dalam masyarakat, sehingga dengan demikian masyarakat dalam keadaan sakit.
Gejala-gejala sosial seperti ini yang termasuk penyakit masyarakat yang sering
dijumpai dalam kehidupan sehari-hari. Soedjono (1988) menyatakan penyakit
masyarakat itu meliputi: (1) Gelandangan (tuna wisma dan tuna karya); (2)
Penyalahgunaan narkotika dan alkoholisme; (3) Prostitusi atau
penyimpangan/abnormal di bidang seksual; (4) Penyakit jiwa; (5) Tuna netra
kriminal; dan (6) Kolerasi antar penyakit masyarakat dan kriminalitas.
Atas dasar keterangan tersebut
tampak bahwa pelacuran atau prostitusi termasuk salah satu penyakit masyarakat,
karena terjadinya kemorosotan di bidang pendidikan dan agama bisa mengakibatkan
kemerosotan moral, pelacuran, ke-nakalan anak-anak, dan sebagainya, sehingga
norma-norma sosial yang ada dalam masyarakat mengharamkan adanya tindak
pelacuran dalam segala bentuknya. Misalnya, pelacuran tidak hanya dalam bentuk
rumah-rumah bordil atau sering disebut lokalisasi pelacuran, tetapi juga dalam
bentuk pelacuran terselubung. Sudah menjadi rahasia umum, tempat-tempat seperti
klab malam, panti pijat, tempat dansa, bahkan ada salon kecantikan yang
dipergunakan sebagai tempat pelacuran.
Poerwodarminto dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia (1998:548)
menyebutkan bahwa pelacuran adalah perihal menjual diri, dan pelacur berarti
wanita tuna susila. Jadi, kata pelacuran menunjukkan pada perbuatannya sedang
pelacur menunjukkan pada orang yang melakukannya. Adapun WA Bonger sebagaimana
dikutip oleh Bosu (1998:43) menyatakan pelacuran adalah gejala kemasyarakatan,
di mana wanita menjual diri melakukan perbuatan-perbuatan seksual sebagai mata
pencahariannya. Sementara itu, Iwan Block dalam Bosu (1998:43) mengungkapkan
pelacuran adalah suatu bentuk hubungan kelamin di luar perkawinan, dengan pola
tertentu, yaitu kepada siapapun secara terbuka dan hampir selalu dengan
pem-bayaran, baik untuk persebadanan maupun kegiatan seks lainnya demi kepuasan
yang bersangkutan. Selanjutnya, dalam Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang
Perkawinan menyebut pelacuran sebagai perzinahan. Perzinahan adalah setiap
hubungan kelamin antara wanita dan pria di luar perkawinan yang sah. Akhirnya,
dapat disimpulkan bahwa pelacuran adalah setiap perhubungan kelamin di luar
perkawinan yang sah antara laki-laki dan wanita oleh salah satu pihaknya
(pelaku) dilakukan dengan maksud mendapat suatu keuntungan bagi dirinya atau
orang lain atau mendapat imbalan jasa atas perbuatannya.
Berdasarkan beberapa pengertian
tersebut di depan, dapat diambil simpulan bahwa unsur-unsur yang pelacuran
adalah: (1) Adanya suatu perbuatan, yaitu penyerahan diri seseorang wanita
kepada laki-laki yang bukan suaminya dalam hubungan kelamin tanpa pilih-pilih
dan terjadi berulang-ulang; dan (2) Adanya imbalan baik berupa uang atau barang
lainnya sebagai pembayaran dari pihak laki-laki.
F. Prostitusi Dalam
Pandangan Agama Islam
Kegiatan
prostitusi atau pelacuran dalam Agama Islam juga disebut dengan perbuatan zina,
zina menurut Agama Islam adalah dosa besar. Seperti firman allah berikut : ‘
Dan orang-orang yang tidak menyembah Tuhan yang lain selain Allah dan tidak
membunuh jiwa yang diharamkan Allah kecuali dengan (alasan) yang benar dan
tidak berzina.” (QS.Al-Furqon:68). Mengenai firman diatas kata-kata zina
disebutkan pada urutan ketiga sehingga dapat disimpulkan bahwa perbuatan zina
adalah perbuatan dosa besar yang ketiga dalam urutan syariat Islam.
Islam
melarang dengan tegas mengenai perbuatan zinakarena hal tersebut adalah
perbuatan kotor dan keji. Dalam firman Allah menyebutkan “Dan janganlah kamu
mendekati perbuatan zina. Sesungguhnya zina itu suatu perbuatan yang keji dan
suatu jalan yang buruk.(QS Al-Isra’:32). Syaikh Abdurrahman bin Nashir As-Sa’di
berkomentar: “Allah SWT telah mengategorikan zina sebagai perbuatan keji dan
kotor. Artinya zina dianggap keji menurut syara’, Akal dan Fitrah karena
merupakan pelanggaran terhadap hak Allah, hak istri, hak keluarganya atau
suaminya, merusak ke sucian pernikahan, mengacaukan garis keturunan, dan
melanggar tatanan lainya” Oleh karena itu kegiatan pelacuran atau zina di dalam
Islam telah ditetapkan mengenai hukuman bagi para pelaku zina, dengan cambuk
seratus kali bagi yang belum menikah dan hukuman rajam sampai mati bagi pelaku
yang di ketahui sudah menikah. Selain hokum fisik tersebut. Hukuman moral dan
social juaga di berikan berupa di umumkan aibnya, di asingkan, tidak boleh di
nikahi dan di tolak persaksianya. Hukuman ini lebih bersifat kepada tindakan
preventif (pencegahan), untuk pelajaran bagi orang lain. Mengingat betapa besar
dampak perzinaan atau pelacuran yang begitu besar dan berbahaya bagi kehidupan
manusia baik dalam tatanan kehidupan individu, keluarga maupun dalam lingkungan
masyarakat.
Menanamkan akhlak karimah sejak dini adalah salah satu tindakan yang bisa menjegah seseorang untuk berfikir pendek. Sehingga persoalan agama akan menjadi pertimbangan ketika seseorang tersebut ingin mengambil sebuah jalan. Pada kenyataannya banyak orang tua yang kurang perhatian dalam pendidikan akhlak anaknya, sehingga anak mudah sekali terjerebab ke dalam hal-hal yang tidak seharusnya.
Menanamkan akhlak karimah sejak dini adalah salah satu tindakan yang bisa menjegah seseorang untuk berfikir pendek. Sehingga persoalan agama akan menjadi pertimbangan ketika seseorang tersebut ingin mengambil sebuah jalan. Pada kenyataannya banyak orang tua yang kurang perhatian dalam pendidikan akhlak anaknya, sehingga anak mudah sekali terjerebab ke dalam hal-hal yang tidak seharusnya.
G. Ketentuan
pelacuran dalam KUHP
Dalam Kitab Undang-Undang Hukum
Pidana (KUHP) tidak ada satupun pasal yang mengatur secara khusus tentang
pelacuran atau wanita pelacur, padahal di dalam hukum pidana terdapat asas
legalitas yang termuat dalam Pasal 1 ayat (1) KUHP, yang menyebutkan: Tiada
suatu perbuatan dapat dipidana kecuali atas aturan pidana dalam
perundang-undangan yang telah ada sebelum perbuatan itu dilakukan.
Hal ini berarti segala perbuatan
yang belum diatur di dalam undang-undang tidak dapat dijatuhi sanksi pidana.
Jadi, belum tentu semua perbuatan melawan hukum atau merugikan masyarakat
diberi sanksi pidana. Namun, Moeljatno (1994) mengartikan pelacuran tidak
dijadikan larangan dalam hukum pidana, janganlah diartikan bahwa pelacuran itu
tidak dianggap merugikan masyarakat. Oleh karena itu, perlu dicari rumusan
hukum atau peraturan yang tepat menindak aktivitas pelacuran, yang
selama ini dalam praktik dapat dilaksanakan oleh penegak hukum.
Pasal 296 KUHP, menyebutkan bahwa:
Barang siapa dengan sengaja meng-hubungkan atau memudahkan perbuatan cabul oleh
orang lain, dan menjadikannya sebagai mata pencahariaan atau kebiasaan, diancam
dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun 4 (empat) bulan atau denda
paling banyak seribu rupiah.
Ketentuan Pasal 296 KUHP tersebut
mengatur perbuatan atau wanita yang melacurkan diri tidak dilarang oleh
undang-undang, sedangkan yang bisa dikena-kan pasal ini adalah orang-orang yang
menyediakan tempat kepada laki-laki dan perempuan untuk melacur, dan agar dapat
dihukum perbuatan itu harus dilakukan untuk mata pencaharaian atau karena
kebiasaannya.
Sementara itu, orang yang tidak masuk
dalam ketentuan Pasal 296 KUHP ini adalah orang yang menyewakan rumah atau
kamarnya kepada perempuan atau laki-laki yang kebetulan pelacur, dikarenakan
tidak ada maksudnya sama sekali untuk mengadakan atau memudahkan perbuatan
cabul, ia sebab hanya menyewa-kan rumah dan bukan merupakan mata pencaharian
yang tetap.
Pasal 297 KUHP menyebutkan bahwa
perdagangan wanita dan perdagang-an laki-laki yang belum cukup umur, diancam
dengan pidana penjara paling lama enam tahun. Perdagangan wanita ini harus
diartikan sebagai semua perbuatan yang langsung bertujuan untuk menempatkan
seorang perempuan dalam keadaan ber-gantung kepada kemauan orang lain yang
ingin menguasai perempuan itu untuk disuruh melakukan perbuatan-perbuatan cabul
dengan orang ketiga. Perbuatan perdagangan wanita harus bertujuan untuk
menyerahkan wanita ke dalam kancah pelacuran tidak hanya mengenai wanita
pelacur, tetapi wanita yang sudah menjadi pelacur pun dapat juga menjadi objek
perbuatan perdagangan wanita.
Pasal 506 KUHP menyebutkan barang siapa
menarik keuntungan dari perbuatan cabul dari seorang wanita dan menjadikan
sebagai mata pencaharian, diancam dengan kurungan paling lama 1 (satu) tahun.
Orang yang menarik ke-untungan dari perbuatan tersebut dan menjadikannya
sebagai mata pencaharian sering disebut mucikari. Mucikari yaitu makelar cabul
artinya seorang laki-laki yang kehidupannya dibayar oleh pelacur yang tinggal
bersama-sama dengannya dalam tempat pelacuran, yang menolong mencarikan para
pelanggan, dari hasil itu ia mendapat bagiannya. Pada umumnya mucikari ini di
samping menjadi perantara (calo) untuk mempertemukan pelacur dan pelanggannya,
juga berperan sebagai “kekasih atau pelindung” para wanita pelacur itu.
Berdasarkan ketentuan di atas, jika
dilihat dari ketiga pasal dalam KUHP (Pasal 296, Pasal 297 dan Pasal 506)
tersebut yang berhubungan dengan kegiatan pelacuran, ternyata pelacurnya
sendiri secara tegas tidak diatur atau tidak diancam oleh hukum pidana.
H. Sebab –
sebab timbul pelacuran
Banyak faktor yang mendorong wanita
terjun dalam dunia pelacuran, antara lain faktor ekonomi, sosiologis, dan
psikologis (Kartini Kartono,1988).
1. Faktor
Ekonomi.
Kebutuhan
yang semakin lama semakin mendesak bisa saja seseorang me-lakukan suatu
perbuatan yang nekat, oleh sebab itu seseorang menjadi pelacur itu dikarenakan
oleh adanya tekanan ekonomi, yaitu kemiskinan yang dirasakan terus menerus dan
adanya kesenjangan penumpukan kekayaan pada golongan atas dan terjadinya
kemelaratan pada golongan bawah bagi pengusaha rumah pelacuran mencari-cari
wanita-wanita pelacur dari kelas melarat karena kebanyakan wanita tuna susila
kebanyakan berasal dari keluarga miskin dengan pendidikan rendah
2. Faktor
Sosiologis.
Dengan
terjadinya perubahan dan perkembangan sosial-budaya yang cepat mengakibatkan
ketidakmampuan banyak individu untuk menyesuaikan diri. Misal, bertemunya
bermacam-macam kebudayaan asing dan kebudayaan setempat meng-akibatkan terjadi
perubahan-perubahan kehidupan yang cepat sehingga masyarakat menjadi labil,
banyak konflik budaya, kurang adanya kompromi mengenai norma-norma kesusilaan
antar anggota masyarakat. Dengan kelemahan norma, motivasi jahat, adanya
kesempatan, dan lingkungan sosial yang hiterogen dapat dijadikan alasan orang
untuk menjadi pelacur. Mereka tidak peduli pada reaksi sosial yang dapat berupa
kekaguman, pujian, hormat pesona, simpati, sikap acuh tak acuh, cemburu, iri
hati, ketakutan penolakan, kemurkaan, hukuman, kebencian, kemarah-an, dan
tindakan-tindakan konkrit lainnya.
3. Faktor
Psikologis.
Faktor
psikkologis memainkan peranan penting yang menyebabkan seorang wanita
melacurkan diri. Kegagalan-kegagalan dalam hidup individu karena tidak
terpuaskan dengan kebutuhan baik biologis maupun sosial dapat menimbulan efek
psikologis sehingga mengakibatkan situasi krisis pada diri individu tersebut.
Dalam keadaan krisis ini akan memudahkan timbul konflik batin, yang sadar atau
tidak sadar mereka akan mencari jalan keluar dari kesulitan-kesulitan. Dalam
keadaan demikian, orang akan mudah terpengaruh ke jalan yang sesat apabila orang
itu dalam keadaan jiwa yang labil. Berbagai faktor internal psikologis yang
dapat menjadi penyebab wanita menjadi pelacur, antara lain moralitas yang
rendah dan kurang berkembang (misalnya kurang dapat membedakan baik buruk,
benar salah, boleh tidak), kepribadian yang lemah dan mudah terpengaruh, dan
kebanyakan para pelacur memiliki tingkat kecerdasan yang rendah.
Sejalan
dengan pendapat Kartini Kartono, bahwa pelacuran tidak hanya timbul disebabkan
dari pihak perempuan saja, tetapi juga oleh sebab-sebab dari pihak laki-laki,
antara lain:
a. Nafsu birahi
laki-laki untuk menyalurkan kebutuhan dan kepuasan seks tanpa ikatan apapun.
b. Rasa iseng
laki-laki yang ingin mendapat pengalaman reaksi seks di luar ikatan perkawinan,
ingin mencari varisi dalam reaksi seks.
c. Istri sedang
haid, hamil tua, atau lama sekali mengidap penyakit, sehingga tidak mampu
melakukan reaksi seks dengan suaminya.
d. Istri
menjadi gila atau cacat jasmaniah, sehingga merasa malu untuk kawin lalu
menyalurkan kebutuhan-kebutuhan seksnya dengan wanita-wanita pelacur, misalnya
karena bongkok, buruk rupa, pincang dan lain sebagainya.
e. Bertugas di
tempat yang jauh, pindah kerja atau ditugaskan di tempat yang lain yang belum
sempat atau tidak dapat memboyong keluarga.
f. Karena
berprofesi sebagai penjahat sehingga tidak memungkinkan berumah tangga.
g. Tidak
mendapat kepuasan kebutuhan seks dengan patner atau istrinya.
h. Tidak
bertanggungjawab atau akibat relasi seks dan dirasakan sebagai lebih ekonomis,
misalnya tidak perlu memelihara anak keturunan, tidak perlu membiayai rumah
tangga dan tidak perlu menjamin kebutuhan istri
Faktor-faktor sebagaimana tersebut di atas akan menjadi penyebab yang
kompleks. Hal ini yang secara langsung ataupun tidak langsung akan memelihara
dan mempengaruhi keberadaan drama pelacuran yang tidak berkesudahan, dari masa
ke masa, dan di mana saja belahan muka bumi ini, sepanjang manusia itu masih
ada maka pelacuran pasti ada.
I. Cara
menanggulangi pelacuran
Usaha-usaha dalam penanggulangan terhadap
pelacuran harus segera dilakukan sebab kalau tidak segera dilakukan, maka
gejala dan penyakit sosial ini lama kelamaan dipandang oleh masyarakat sebagai
hal yang wajar dan normal. Dengan adanya pandangan seperti itu berarti bahwa
masyarakat mulai jenuh dalam menghadapi segala permasalahan yang berhubungan
dengan pelacuran. Dengan demikian, apabila masyarakat mulai jenuh, maka
usaha-usaha penanggulangan ter-hadap pelacuran akan mengalami banyak hambatan,
padahal akibat-akibat adanya pelacuran sangat membahayakan dan meresahkan
masyarakat dan generasi anak-anak di masa mendatang.
Usaha-usaha dalam penanggulangan
permasalahan wanita tuna susila atau pelacuran ialah dengan berusaha membendung
dan mengurangi merajalelanya tindakan pelacuran yang membahayakan. Dalam hal
ini, Dinas Sosial perlu bekerja sama dengan instansi lain yang terkait dan
tokon-tokoh masyarakat dan agama untuk mengatasi dan menanggulangi pelacuran.
Usaha - usaha untuk memberantas dan menanggulangi pelacuran dapat dilakukan secara preventif dan represif. Usaha preventif
adalah usaha untuk mencegah jangan sampai terjadi pelacuran, sedang usaha
represif adalah usaha untuk menyembuhkan para wanita tuna susila dari
ketunasusilaanya untuk kemudian dibawa ke jalan yang benar agar menyadari
perbuatan yang mereka lakukan itu adalah dilarang oleh norma agama.
Adapun usaha-usaha yang bersifat
preventif untuk menanggulangi dan mengatasi pelacuran dapat dilakukan dengan
berbagai cara, antara lain:
1. Intensifikasi
pemberian pendidikan keagamaan dan kerohaniaan.
2. Menciptakan
bermacam-macam kesibukan dan kesempatan rekreasi bagi anak-anak usia puber
untuk menyalurkan kelebihan energinya dalam aktivitas positif.
3. Memperluas
lapangan kerja bagi kaum wanita .
4. Penyelenggaraan
pendidikan seks dan pemahaman nilai perkawinan dalam kehidupan rumah tangga.
5. Pembentukan
badan atau tim koordinasi dari semua unsur lembaga terkait dalam usaha
penanggulangan pelacuran.
6. Memberikan
bimbingan dan penyuluhan sosial dengan tujuan memberikan pe-mahaman tentang
bahaya dan akibat pelacuran.
Sementara itu, usaha-usaha yang bersifat represif untuk menanggulangi atau
mengurangi pelacuran dalam masyarakat dapat dilakukan berbagai hal, antara lain
(Kartini Kartono, 1998):
1. Melalui
lokasilisasi yang sering ditafsirkan sebagai legalisasi, orang melaku-kan
pengawasan atau kontrol yang ketat demi menjamin kesehatan dan ke-amanan para
pealacur dan para penikmatnya.
2. Melakukan
aktivitas rehabilitasi dan resosialisasi para pelacur agar bisa di-kembalikan
sebagai warga masyarakat yang susila.
3. Penyempurnaan
tempat penampungan bagi para wanita tuna susila yang ter-kena razia disertai
pembinaan sesuai minat dan bakat masing-masing.
4. Menyediakan
lapangan kerja baru bagi mereka yang bersedia meninggalkan profesi pelacuran
dan mau mulai hidup baru.
5. Mengadakan
pendekatan terhadap keluarga para pelacur dan masyarakat asal mereka agar
keluarga mau menerima kembali mantan wanita tuna susila itu guna mengawali
hidup baru.
Melaksanakan pengecekan (razia) ke tempat-tempat
yang digunakan untuk perbuatan mesum (bordil liar) dengan tindak lanjut untuk
dilakukan penutupan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar