Kamis, 12 Februari 2015

PROSTITUSI DIPATI

PROSTITUSI DIPATI
BY: Ns viera

A.     Pengertian prostitusi dan prostitute
Pelacuran yang sering disebut sebagai prostitusi (dari bahasa Latin pro-stituere atau prostauree) berarti membiarkan diri berbuat zina, melakukan persundalan, pencabulan dan pergundakan (Kartono, 1981). Sementara itu Bonger (1950) mengatakan prostitusi adalah gejala kemasyarakatan dengan wanita penjual diri melakukan perbuatan-perbuatan seksual sebagai mata pencaharian.
Sedangkan P.J deBruine van Amstel menyatakan prostitusi adalah penyerahan diri dari wanita kepada banyak laki-laki dengan pembayaran. Sejalan dengan itu pula, Iwan Bloch berpendapat, pelacuran adalah suatu bentuk perhubungan kelamin di luar pernikahan dengan pola tertentu, yakni kepada siapapun secara terbuka dan hampir selalu dengan pembayaran baik untuk persebadanan maupun kegiatan seks lainnya yang memberi kepuasan yang diinginkan oleh yang bersangkutan.
Sementara itu Commenge mengatakan prostitusi atau pelacuran itu adalah suatu perbuatan seorang wanita memperdagangkan atau menjual tubuhnya, yang dilakukan untuk memperoleh bayaran dari laki-laki yang datang; dan wanita tersebut tidak ada pencaharian nafkah lainnya kecuali yang diperolehnya dari perhubungan sebentar-sebentar dengan banyak orang. Hal yang hampir sama disampaikan oleh Moeliono bahwa pelacuran adalah penyerahan badan wanita dengan menerima bayaran kepada orang banyak guna pemuasan nafsu seksual orang-orang itu.
Berdasarkan Pola Dasar Pembangunan Kesejahteraan Sosial tahun 1996, wanita tuna susila adalah seorang  wanita yang melakukan hubungan seksual di luar pernikahan denga tujuan untuk mendapatkan imbalan jasa. Dari segi agama, pelacuran merupakan perbuatan perzinahan karena melakukan hubungan seks di luar pernikahan. Pada umumnya setiap agama menentang perbuatan zina. Dalam agama Islam, larangan berzina tercantum dalam Al Qur’an surat Al Isra ayat 32 dan surat An Nur ayat 2, didalam ayat-ayat tersebut ditekankan, bahwa berzina merupakan dosa besar, perbuatan terkutuk dan sangat keji.
Semua yang disebutkan di atas adalah beberapa batasan mengenai prostitusi atau pelacuran yang dikemukakan oleh para ahli, lembaga pemerintah dan dari segi agama. Jadi, yang dimaksud dengan prostitusi, pelacuran, penjajaan seks atau persundalan adalah kegiatan penyerahan tubuh oleh wanita kepada banyak laki-laki dengan imbalan pembayaran guna disetubuhi dan sebagai pemuas nafsu seks si pembayar, yang dilakukan di luar pernikahan. Sedangkan yang dimaksud prostitute, pelacur, wanita tuna susila, wanita penjaja seks adalah wanita yang pekerjaannya menjual diri kepada siapa saja atau banyak laki-laki yang membutuhkan pemuasan nafsu seksual, atau dengan kata lain, adalah wanita yang melakukan hubungan seksual dengan banyak laki-laki di luar pernikahan dan si wanita memperoleh imbalan uang dari laki-laki yang menyetubuhinya.

B.    Pandangan-pandangan tentang prostitusi
Para ahli ilmu sosial sepakat mengkategorikan pelacuran ke dalam “patologi sosial” atau penyakit masyarakat yang harus diupayakan penanggulangannya. Patologi sosial adalah ilmu tentang gejala-gejala sosial yang dianggap “sakit”, disebabkan oleh faktor-faktor sosial. Menurut Kartini Kartono (1981), patologi sosial adalah semua tingkah laku yang bertentangan dengan norma kebaikan, stabilitas lokal, pola kesederhanaan, moral, hak milik, solidaritas kekeluargaan, hidup rukun bertetangga, disiplin kebaikan dan hukum formal. Aktivitas menjajakan seks atau pelacuran dipandang masyarakat sebagai sisi hitam dari kehidupan sosialnya. Warna pandangan ini menyebabkan kita melihat semacam keremang-remangan dalam kehidupan pelacuran.
Meskipun demikian dianggap buruk, pada kenyataanya fenomena prostitusi sudah ada sejak dulu. Dalam memandang masalah pelacuran ini ada semacam double standard atau standar ganda. Seperti yang dikatakan oleh Dr. J. Verkuyl (dalam Hull, Sulistyaningsih dan Jones; 1997) baik dahulu maupun sekarang kita sering berhaluan dua. Kita melarang pelacuran, tetapi sebaliknya kita terima juga sebagai sesuatu yang tak dapat dielakkan. Bagaimanapun pandangan masyarakat terhadap kehidupan pelacuran, kenyataan tetap membuktikan bahwa pelacuran dalam sistem sosial masyarakat kehadirannya sejak berabad-abad yang lalu dan tiada satu kekuatanpun yang mampu menghapusnya dari muka bumi ini.

C.    Sejarah prostitusi di Dukuhseti
Adanya praktek pelacuran di Desa Dukuhseti dan Desa Kembang Kecamatan Dukuhseti Kabupaten Pati, Propinsi Jawa Tengah dikarenakan adanya beberapa peristiwa yang terjadi, yaitu adanya pekerja migran orang-orang Cina yang datang melalui Pelabuhan Juwana yang jaraknya dekat dengan Desa Dukuh Seti. Pekerja migran lain adalah datangnya orang-orang Portugis yang dapat dilihat dengan adanya bangunan Benteng Portugis. Para pekerja ini lalu tinggal lama di desa itu dan banyak berhubungan dengan wanita-wanita di sekitar mereka tinggal dan ada pula yang menikahi wanita-wanita tersebut. Selain pekerja migran dari luar negeri juga banyak terdapat pekerja migran yang berasal dari daerah lain dengan didirikannya pabrik gula, perkebunan karet dan jati.
Penyebab lain tumbuh suburnya pelacuran sejak adanya kampanye partai politik yang dimulai tahun 1972 dimana bila ada pejabat-pejabat yang datang baik dari kabupaten atau yang lebih tinggi maka gadis-gadis di desa tersebut diminta menjadi pagar betis upacara-upacara tertentu, tetapi kemudian atas perintah Kepala Desa juga dijadikan pemuas nafsu pejabat-pejabat tadi. Kejadian tersebut berlangsung terus dan akhirnya mereka menjadi pelacur karena ada iming-iming mendapat uang banyak. Di Dukuhseti, pialang seks malah bergerak leluasa.
Di desa ini Prof. Koentjoro pernah melakukan penelitian dengan berdiam di desa tersebut selama beberapa bulan. Di situ ia melihat lebih jelas bahwa kesulitan ekonomi bukanlah faktor dominan yang mendorong wanita jadi pelacur. Yang malah sangat menentukan adalah faktor budaya. Dan ini terkait pada sebuah legenda yang sampai sekarang masih hidup di masyarakat sana.
Syahdan, menurut legenda, dahulu kala ada seorang bernama Brojoseti. Tokoh pendiri desa ini beristrikan wanita yang amat cantik. Namun, sang istri cantik ternyata main serong dan kepergok suaminya. Brojoseti murka: Kutukannya jatuh pada keturunan si istri beserta seluruh isi kampung, yang mulai saat itu akan senantiasa berbuat serong (Hull, Sulistyaningsih dan Jones, 1997). Dan rakyat masih sangat percaya akan cerita ini. Tapi mungkin juga itu hanya satu justifikasi untuk melembagakan budaya serong. Yang pasti, mereka sangat longgar, sejauh yang menyangkut hubungan seks. Bagi mereka, melacur itu sudah merupakan  suratan takdir.
D.    Motivasi dalam berprostitusi
Tjahjo Purnomo dan Ashadi Siregar (1983) bahwa faktor-faktor yang menyebabkan seorang wanita melacurkan diri antara lain :
1.    Tekanan ekonomi, karena tidak ada pekerjaan terpaksa mereka hidup menjual diri sendiri dengan jalan dan cara yang paling mudah
2.    Karena tidak puas dengan posisi yang ada. Walaupun sudah mempunyai pekerjaan tapi belum puas juga karena tidak membeli barang-barang perhiasan yang bagus dan mahal
3.    Karena kebodohan, tidak mempunyai pendidikan atau intelegensi yang baik
4.    Cacat jiwa
5.    Karena tidak puas dengan kehidupan seksualnya atau hiperseksual
Sedangkan Kartono (1981) menjelaskan adanya beberapa faktor yang menjadi penyebab timbulnya prostitusi antara lain:
1.    Longgarnya peraturan/perundangundangan yang melarang pelacuran seperti dalam KUHP. Pelaksanaan Undang-Undang ini kenyataannya dapat dijadikan sumber pendapatan bagi pihakpihak tertentu atau dijadikan alat untuk memeras mereka
2.    Adanya keinginan dan dorongan manusia untuk menyalurkan kebutuhan seks
3.    Komersialisasi dari seks
4.    Dekadensi moral, merosotnya anormanorma susila dan nilai-nilai agama
5.    Perkembangan kota-kota, daerah pelabuhan dan industrialisasi yang sangat cepat
6.    Bertemunya bermacam-macam kebudayaan asing dan kebudayaan daerah.
Selain itu, Simanjuntak (1981) juga memapaerkan sejumlah faktor penyebab terjadinya pelacuran. Faktor-faktor itu antara lain :
1.    Faktor sosial.
Berlangsungnya perubahanperubahan sosial yang cepat dan perkembangannya tidak sama dengan kebudayaan mengakibatkan ketidakmampuan orang-orang untuk menyesuaikan diri dengan perubahan sosial yang dihadapinya. Seringkali ditemui masalah sosial yang berbentuk keresahan individu, tingkah laku abnormal atau menyimpang, penampilan-penampilan peran sosial yang kurang wajar atau memadai, serta beberapa identitas lain yang dikatakan menyimpang seperti terdapat dalam kriminalitas, penyakit mental dan sebagainya.
2.    Faktor psikologis.
Berbagai kelemahan jiwa tertentu yang dialami oleh seseorang baik yang berwujud ketidakstabilan maupun tindakan penyesuaian diri yang negatif, seringkali banyak diakibatkan oleh kekecewaan atau terjadinya kepahitan hidup pada saat-saat atau kejadian yang telah lampau dapat mengakibatkan seseorang terjerumus dalam kegiatan pelacuran.
3.    Faktor ekonomis.
Manusia adalah makhluk sosial yang didalam hidupnya berhubungan dengan orang lain. Hal itu dilakukan dalam rangka memenuhi kehidupan yaitu untuk mempertahankan kelangsungan hidup dalam lingkungannya. Demikian sebaliknya kondisi lingkungan turut mempengaruhi tindakan-tindakannya dalam berhubungan dengan orang lain. Kondisi lingkungan seperti ini dapat mengakibatkan seseorang menjadi pelacur.
4.    Faktor biologis.
Dengan meningkatnya unsur seorang wanita, maka organ-organ maupun hormon seks akan semakin matang, sehingga dorongan seksnya tidak terpuaskan dapat mengakibatkan terjerumus dalam kegiatan pelacuran.
5.    Faktor-faktor lain
Faktor-faktor lainnya seperti rendahnya tingkat pendidikan, kondisi psiko-seksual yang luar biasa dan hiperseks banyak menimbulkan seseorang terjerumus dalam praktek pelacuran.
Hal yang berbeda dinyatakan oleh Flowers (dalam Miller, 2000) prostitusi (remaja) dilatar belakangi peristiwa larinya dia dari rumah, keterlibatan germo yang memanfaatkannya, dan pelecehan atau kekerasan yang dialaminya sewaktu kecil. Flowers juga menyebutkan hubungan antara industri pornogafi dan “perdagangan seks global”.
Di Indonesia tidak ada satupun pasal dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana yang secara tegas mengancamkan pidana terhadap para pelacur. Hanya ada 3 pasal yang mengancamkan hukuman pidana kepada siapapun yang pencaharian atau kebiasaannya dengan sengaja mengadakan atau memudahkan perbuatan cabul dengan orang lain (germo), ini diancam dalam Pasal 296 KUHP.  Kemudian yang memperniagakan perempuan (termasuk laki-laki) yang belum dewasa, terdapat dalam pasal 297 KUHP. Dan yang terakhir adalah souteneur, yaitu ‘kekasih’ atau pelindung yang kerap kali juga berperan sebagai perantara atau calo dalam mempertemukan pelacur dan langganannya dan mengambil untung dari pelacuran, diancam dalam pasal 506 KUHP (Soesilo,1964). Sehingga dengan demikian si pelacur sendiri tidak secara tegas diancam oleh hukum pidana, karena memang prostitution itself is not a crime (Winn, 1974).
Dari penelitian yang dilakukan oleh Dwi atmaja yang dilakukan pada kelima reponden, kesemuanya memiliki unsur-unsur yang sama, yaitu faktor ekonomi. Akan tetapi, jika miskin menjadi penyebab, mengapa semua perempuan yang miskin tidak menjadi pekerja seks komersial? Dari situ bisa diketahui bahwa masalah ekonomi bukanlah satu-satunya alasan.
Penelitian Prof. Koentjoro sebelumnya yang menyatakan bahwa faktor budaya menjadi penyebab lain dari pelacuran yang terjadi. Hasil studi beliau menyatakan bahwa prostitusi sudah terjadi sejak lama saat buruh imigran Cina dan Portugis datang, hingga era modern saat pelacuran menjadi alat kekuasaan. Pola yang sama ditemukan (Andaya, 1998) pada wanita-wanita di Asia Tenggara yang dinikah dengan migran asing hanya untuk kebutuhan seksualnya yang pada akhirnya memunculkan prostitusi. 
Fakta tentang prostitusi sebagai media untuk melanggeng dan memperlancar kekuasaan juga diproteskan oleh seorang wanita Amerika, yang juga seorang prostitute, di tahun 1800an. Dia menyatakan kemunafikan aparat pemerintah yang berteriak menentang prostitusi sedang disaat yang sama memperoleh keuntungan darinya. Jika dilihat, apa yang terjadi di negara lain, di masa yang lain juga, terjadi pula di Dukuhseti, seperti yang diampaikan Prof. Koentjoro bahwa saat kampanye partai politik yang di tahun 1972, ketika pejabat-pejabat dari kabupaten atau yang lebih tinggi, gadis-gadis di desa tersebut diminta menjadi pagar betis upacara-upacara tertentu, yang kemudian atas perintah Kepala Desa juga dijadikan pemuas nafsu pejabat-pejabat tadi. Hal seperti ini juga berperan dalam memunculkan prostitusi.
Selain faktor itu juga ada faktor modelling. Anggapan perempuan di daerah tersebut bahwa kekayaan dan kemewahan adalah segalanya telah membuat praktek pelacuran semakin subur, dengan kenyataan kehidupan mereka bertambah baik membuat iri perempuan lain dan akhirnya juga terjun sebagai pelacur. Persaingan diantara mereka dapat terlihat dari adanya perilaku yang ingin memamerkan kekayaannya melalui rumah, perabotan rumah tangga yang mewah, mobil, dan lain-lain. Dengan melihat pelacur lain yang berhasil maka diikuti pelacur lain untuk lebih banyak menghasilkan uang bahkan diikuti oleh perempuan lain yang tertarik menjadi pelacur. Hal ini sesuai dengan teori belajar sosial atau modelling yang dikemukakan oleh Bandura.
Dari informasi yang diterima dapat diketahui ada perbedaan kondisi rumah para pelacur dengan penduduk desa biasa yang terlihat secara nyata bahwa rumah-rumah para pelacur terlihat lebih mewah dengan lantai keramik, bentuknya hampir sama yaitu bergaya modern, ada yang mempunyai parabola, mobil, isi rumah modern dan lengkap. Sedangkan penduduk lain terlihat seperti rumah-rumah penduduk pedesaan yang sederhana dengan lantai biasa (bukan keramik) dan bahkan ada yang masih berlantai tanah, dinding dari bambu serta beratap genteng biasa. Disini modelling juga terjadi saat menjadi prostitute atau pelacur seolah-olah dianggap menjadi cara yang paling cepat dan mudah dalam mendapatkan kemakmuran.
Informasi menarik lainnya adalah adanya satu Mesjid yang dibiayai pembangunannya oleh para pelacur di Desa Blingoh. Selain itu pada saat menjelang lebaran para pelacur yang bekerja di kota-kota besar akan pulang ke desa dengan membagikan hadiah berupa pakaian dan makanan yang dibawa dengan mobil truk lalu diberikan keadaan masyarakat setempat yang kurang mampu. Kehidupan sosial masyarakat berjalan dengan baik, adanya saling menolong antara yang mampu dan yang kurang mampu, komunikasi diantara mereka juga tidak mengalami kesulitan. Selain turut membangun rumah ibadah, mereka juga turut membantu pembangunan fisik desa serta turut menyumbang apabila ada perayaan hari – hari besar, misalnya perayaan 17 Agustus. Diterimanya sumbangan dari prostitute itu secara tidak langsung juga menunjukkan bahwa mereka diterima, dan itu menjadi penguat atau menjadi reinforcement untuk mereka tetap berada di dunia itu.
Beberapa perilaku masyarakat desa yang terkait dengan praktek pelacuran, antara lain :
1.    Bahwa laki-laki di desa tersebut banyak yang malas bekerja lalu mereka menikahi wanita yang berpotensi secara fisik untuk melacur dan istrinya disuruh melacur dan dari situlah ia mendapatkan uang, ada pula laki-laki yang kerjanya mencari wanita-wanita yang mau disuruh melacur lalu dikirim ke Jakarta dan dari mengirim wanita-wanita tersebut kepada mucikari ia mendapatkan uang. Wanita yang menjadi pelacur sebelumnya menikah terlebih dahulu dan pada waktu menikah kebanyakan berusia remaja atau sekitar belasan tahun. Setelah menikah ada pula yang sampai mempunyai anak, kemudian menjadi pelacur baik di desa mereka sendiri atau ke Jakarta.
2.    Ada dua jenis pelacuran di desa Dukuhseti, yaitu mereka yang berada di Jakarta, atau kota besar lainnya, tetapi sewaktu-waktu pulang dan membangun rumah, membeli sawah serta barang-barang mewah perabotan rumah tangga, dan ada pula yang menetap di desa. Dengan penghasilan dari melacur, kehidupan sosial ekonomi mereka berubah 180 derajat dari yang hidupnya hanya cukup untuk sehari-hari sampai mempunyai materi yang cukup dan bisa membeli barang-barang mewah yang sebelumnya tidak mereka miliki. Bagi pelacur yang menetap di desa mempunyai kebiasaan, menurut masyarakat desa memakai istilah “sandal” yaitu apabila di depan rumah/pintu ada sandal tergeletak itu berarti bahwa istri dari pemilik rumah tersebut sedang menerima “tamu” laki-laki lain.
3.    Terdapat persaingan antar pelacur dalam mengejar materi terutama rumah dan perabotan rumah tangga yang tidak mau ketinggalan jaman, bentuk rumah dan dekorasi ada kesamaan. Dengan adanya persaingan ini mendorong mereka mencari uang sebanyak-banyaknya agar tidak ketinggalan dari pelacur lain dalam hal materi.
4.    Wanita-wanita pelacur yang beraktivitas di luar desa, misalnya Jakarta, apabila mereka kembali ke rumah maka menjadi milik suami sepenuhnya dan tidak melacur selama berada di rumah. Namun demikian banyak pula terjadi perceraian yang disebabkan karena suami ketahuan berselingkuh dengan wanita lain dan mau menjadikan wanita simpanannya sebagai istrinya.
5.    Wanita-wanita pelacur yang berhasil di luar daerah akan membawa teman-teman atau saudara untuk dibawa ke kota dan dijadikan pelacur. Hal ini karena tergiur oleh berlimpahnya harta dari hasil melacur. Praktek seperti ini telah mulai ramai sejak sekitar tahun 1970-an dikarenakan kehidupan mereka di desa yang miskin dan kecintaan terhadap materi sehingga menjadikan jalan pintas karena tidak mau bekerja keras tetapi ingin hidup mewah.
Selain itu ada beberapa pandangan/pendapat baik pelacur maupun suami mereka mengenai perilaku pelacuran yang mereka lakukan, yaitu :
1.    Wanita-wanita pelacur yang mempunyai anak tidak menginginkan anaknya menjadi pelacur juga, bahkan mereka menyekolahkan anaknya di luar desa mereka, biasanya mereka berhent melacur apabila anak-anak mereka sudah duduk di bangku SMU. Selain itu bagi laki-laki yang sering menggunakan jasa pelacur akan menghentikan perilaku ini apabila anak-anak mereka sudah menjelang dewasa atau setingkat SMU karena takut ketahuan oleh anaknya.
2.    Para wanita pelacur dan sebagian masyarakat desa yang menganggap bahwa pelacuran itu tidak melanggar norma agama karena mereka merasa tidak merugikan orang lain dengan alasan mereka berbuat demikian karena dibayar. Sebagian laki-laki di desa tersebut juga beranggapan bahwa konsep pernikahan dan keperawanan tidak penting artinya karena memang tidak memahaminya. Bagi mereka yang penting adalah dapat berhubungan seksual dengan memuaskan.
3.    Wanita-wanita pelacur banyak yang merasa berhutang budi kepada mereka yang justru menjerumuskan ke praktek pelacuran dengan alasan sejak mereka menjadi pelacur kehidupan sosial ekonomi keluarganya menjadi meningkat dan dapat menghidupi seluruh keluarganya.
Dengan memasuki dunia pelacuran, seorang perempuan di daerah tersebut dapat menghidupi keluarganya dengan mencukupi bahkan dapat menyumbang pembangunan desa, perayaan hari-hari besar, menyumbang untuk masyarakat kurang mampu bahkan pembangunan rumah ibadah. Laki-laki yang tidak mempunyai pekerjaan dan menikah hanya untuk mendapatkan keuntungan dari istrinya yang melacur merupakan salah satu indikator merosotnya nilai-nilai, moral dan agama. Masyarakat justru ada yang mendukung perilaku-perilaku tersebut dan inilah faktor penguat kegiatan pelacuran terus berlangsung.
E.     Studi tentang pelacuran
Keseimbangan dalam masyarakat merupakan suatu keadaan yang diidam-idamkan oleh setiap warga masyarakat. Dalam keadaan demikian itu para warga masyarakat merasa akan ada ketenteraman karena tidak ada pertentangan pada kaidah-kaidah dalam nilai-nilai yang berlaku di dalam masyarakat, tetapi adakala-nya keseimbangan itu mengalami ketegangan karena tidak ada kesusilaan atau terjadi benturan norma-norma yang berlaku dalam masyarakat, sehingga dengan demikian masyarakat dalam keadaan sakit. Gejala-gejala sosial seperti ini yang termasuk penyakit masyarakat yang sering dijumpai dalam kehidupan sehari-hari. Soedjono (1988) menyatakan penyakit masyarakat itu meliputi: (1) Gelandangan (tuna wisma dan tuna karya); (2) Penyalahgunaan narkotika dan alkoholisme; (3) Prostitusi atau penyimpangan/abnormal di bidang seksual; (4) Penyakit jiwa; (5) Tuna netra kriminal; dan (6) Kolerasi antar penyakit masyarakat dan kriminalitas.
Atas dasar keterangan tersebut tampak bahwa pelacuran atau prostitusi termasuk salah satu penyakit masyarakat, karena terjadinya kemorosotan di bidang pendidikan dan agama bisa mengakibatkan kemerosotan moral, pelacuran, ke-nakalan anak-anak, dan sebagainya, sehingga norma-norma sosial yang ada dalam masyarakat mengharamkan adanya tindak pelacuran dalam segala bentuknya. Misalnya, pelacuran tidak hanya dalam bentuk rumah-rumah bordil atau sering disebut lokalisasi pelacuran, tetapi juga dalam bentuk pelacuran terselubung. Sudah menjadi rahasia umum, tempat-tempat seperti klab malam, panti pijat, tempat dansa, bahkan ada salon kecantikan yang dipergunakan sebagai tempat pelacuran.
Poerwodarminto dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia (1998:548) menyebutkan bahwa pelacuran adalah perihal menjual diri, dan pelacur berarti wanita tuna susila. Jadi, kata pelacuran menunjukkan pada perbuatannya sedang pelacur menunjukkan pada orang yang melakukannya. Adapun WA Bonger sebagaimana dikutip oleh Bosu (1998:43) menyatakan pelacuran adalah gejala kemasyarakatan, di mana wanita menjual diri melakukan perbuatan-perbuatan seksual sebagai mata pencahariannya. Sementara itu, Iwan Block dalam Bosu (1998:43) mengungkapkan pelacuran adalah suatu bentuk hubungan kelamin di luar perkawinan, dengan pola tertentu, yaitu kepada siapapun secara terbuka dan hampir selalu dengan pem-bayaran, baik untuk persebadanan maupun kegiatan seks lainnya demi kepuasan yang bersangkutan. Selanjutnya, dalam Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan menyebut pelacuran sebagai perzinahan. Perzinahan adalah setiap hubungan kelamin antara wanita dan pria di luar perkawinan yang sah. Akhirnya, dapat disimpulkan bahwa pelacuran adalah setiap perhubungan kelamin di luar perkawinan yang sah antara laki-laki dan wanita oleh salah satu pihaknya (pelaku) dilakukan dengan maksud mendapat suatu keuntungan bagi dirinya atau orang lain atau mendapat imbalan jasa atas perbuatannya.
Berdasarkan beberapa pengertian tersebut di depan, dapat diambil simpulan bahwa unsur-unsur yang pelacuran adalah: (1) Adanya suatu perbuatan, yaitu penyerahan diri seseorang wanita kepada laki-laki yang bukan suaminya dalam hubungan kelamin tanpa pilih-pilih dan terjadi berulang-ulang; dan (2) Adanya imbalan baik berupa uang atau barang lainnya sebagai pembayaran dari pihak laki-laki.

F.     Prostitusi Dalam Pandangan Agama Islam
Kegiatan prostitusi atau pelacuran dalam Agama Islam juga disebut dengan perbuatan zina, zina menurut Agama Islam adalah dosa besar. Seperti firman allah berikut : ‘ Dan orang-orang yang tidak menyembah Tuhan yang lain selain Allah dan tidak membunuh jiwa yang diharamkan Allah kecuali dengan (alasan) yang benar dan tidak berzina.” (QS.Al-Furqon:68). Mengenai firman diatas kata-kata zina  disebutkan pada urutan ketiga sehingga dapat disimpulkan bahwa perbuatan zina adalah perbuatan dosa besar yang ketiga dalam urutan syariat Islam.
Islam melarang dengan tegas mengenai perbuatan zinakarena hal tersebut adalah perbuatan kotor dan keji. Dalam firman Allah menyebutkan “Dan janganlah kamu mendekati perbuatan zina. Sesungguhnya zina itu suatu perbuatan yang keji dan suatu jalan yang buruk.(QS Al-Isra’:32). Syaikh Abdurrahman bin Nashir As-Sa’di berkomentar: “Allah SWT telah mengategorikan zina sebagai perbuatan keji dan kotor. Artinya zina dianggap keji menurut syara’, Akal dan Fitrah karena merupakan pelanggaran terhadap hak Allah, hak istri, hak keluarganya atau suaminya, merusak ke sucian pernikahan, mengacaukan garis keturunan, dan melanggar tatanan lainya” Oleh karena itu kegiatan pelacuran atau zina di dalam Islam telah ditetapkan mengenai hukuman bagi para pelaku zina, dengan cambuk seratus kali bagi yang belum menikah dan hukuman rajam sampai mati bagi pelaku yang di ketahui sudah menikah. Selain hokum fisik tersebut. Hukuman moral dan social juaga di berikan berupa di umumkan aibnya, di asingkan, tidak boleh di nikahi dan di tolak persaksianya. Hukuman ini lebih bersifat kepada tindakan preventif (pencegahan), untuk pelajaran bagi orang lain. Mengingat betapa besar dampak perzinaan atau pelacuran yang begitu besar dan berbahaya bagi kehidupan manusia baik dalam tatanan kehidupan individu, keluarga maupun dalam lingkungan masyarakat.
Menanamkan akhlak karimah sejak dini adalah salah satu tindakan yang bisa menjegah seseorang untuk berfikir pendek. Sehingga persoalan agama akan menjadi pertimbangan ketika seseorang tersebut ingin mengambil sebuah jalan. Pada kenyataannya banyak orang tua yang kurang perhatian dalam pendidikan akhlak anaknya, sehingga anak mudah sekali terjerebab ke dalam hal-hal yang tidak seharusnya.

G.    Ketentuan pelacuran dalam KUHP
Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) tidak ada satupun pasal yang mengatur secara khusus tentang pelacuran atau wanita pelacur, padahal di dalam hukum pidana terdapat asas legalitas yang termuat dalam Pasal 1 ayat (1) KUHP, yang menyebutkan: Tiada suatu perbuatan dapat dipidana kecuali atas aturan pidana dalam perundang-undangan yang telah ada sebelum perbuatan itu dilakukan.
Hal ini berarti segala perbuatan yang belum diatur di dalam undang-undang tidak dapat dijatuhi sanksi pidana. Jadi, belum tentu semua perbuatan melawan hukum atau merugikan masyarakat diberi sanksi pidana. Namun, Moeljatno (1994) mengartikan pelacuran tidak dijadikan larangan dalam hukum pidana, janganlah diartikan bahwa pelacuran itu tidak dianggap merugikan masyarakat. Oleh karena itu, perlu dicari rumusan hukum atau peraturan yang tepat  menindak aktivitas pelacuran, yang selama ini dalam praktik dapat dilaksanakan oleh penegak hukum.
Pasal 296 KUHP, menyebutkan bahwa: Barang siapa dengan sengaja meng-hubungkan atau memudahkan perbuatan cabul oleh orang lain, dan menjadikannya sebagai mata pencahariaan atau kebiasaan, diancam dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun 4 (empat) bulan atau denda paling banyak seribu rupiah.
Ketentuan Pasal 296 KUHP tersebut mengatur perbuatan atau wanita yang melacurkan diri tidak dilarang oleh undang-undang, sedangkan yang bisa dikena-kan pasal ini adalah orang-orang yang menyediakan tempat kepada laki-laki dan perempuan untuk melacur, dan agar dapat dihukum perbuatan itu harus dilakukan untuk mata pencaharaian atau karena kebiasaannya.
Sementara itu, orang yang tidak masuk dalam ketentuan Pasal 296 KUHP ini adalah orang yang menyewakan rumah atau kamarnya kepada perempuan atau laki-laki yang kebetulan pelacur, dikarenakan tidak ada maksudnya sama sekali untuk mengadakan atau memudahkan perbuatan cabul, ia sebab hanya menyewa-kan rumah dan bukan merupakan mata pencaharian yang tetap.
Pasal 297 KUHP menyebutkan bahwa perdagangan wanita dan perdagang-an laki-laki yang belum cukup umur, diancam dengan pidana penjara paling lama enam tahun. Perdagangan wanita ini harus diartikan sebagai semua perbuatan yang langsung bertujuan untuk menempatkan seorang perempuan dalam keadaan ber-gantung kepada kemauan orang lain yang ingin menguasai perempuan itu untuk disuruh melakukan perbuatan-perbuatan cabul dengan orang ketiga. Perbuatan perdagangan wanita harus bertujuan untuk menyerahkan wanita ke dalam kancah pelacuran tidak hanya mengenai wanita pelacur, tetapi wanita yang sudah menjadi pelacur pun dapat juga menjadi objek perbuatan perdagangan wanita.
Pasal 506 KUHP menyebutkan barang siapa menarik keuntungan dari perbuatan cabul dari seorang wanita dan menjadikan sebagai mata pencaharian, diancam dengan kurungan paling lama 1 (satu) tahun. Orang yang menarik ke-untungan dari perbuatan tersebut dan menjadikannya sebagai mata pencaharian sering disebut mucikari. Mucikari yaitu makelar cabul artinya seorang laki-laki yang kehidupannya dibayar oleh pelacur yang tinggal bersama-sama dengannya dalam tempat pelacuran, yang menolong mencarikan para pelanggan, dari hasil itu ia mendapat bagiannya. Pada umumnya mucikari ini di samping menjadi perantara (calo) untuk mempertemukan pelacur dan pelanggannya, juga berperan sebagai “kekasih atau pelindung” para wanita pelacur itu.
Berdasarkan ketentuan di atas, jika dilihat dari ketiga pasal dalam KUHP (Pasal 296, Pasal 297 dan Pasal 506) tersebut yang berhubungan dengan kegiatan pelacuran, ternyata pelacurnya sendiri secara tegas tidak diatur atau tidak diancam oleh hukum pidana.

H.    Sebab – sebab timbul pelacuran
Banyak faktor yang mendorong wanita terjun dalam dunia pelacuran, antara lain faktor ekonomi, sosiologis, dan psikologis (Kartini Kartono,1988).
1.    Faktor Ekonomi.
Kebutuhan yang semakin lama semakin mendesak bisa saja seseorang me-lakukan suatu perbuatan yang nekat, oleh sebab itu seseorang menjadi pelacur itu dikarenakan oleh adanya tekanan ekonomi, yaitu kemiskinan yang dirasakan terus menerus dan adanya kesenjangan penumpukan kekayaan pada golongan atas dan terjadinya kemelaratan pada golongan bawah bagi pengusaha rumah pelacuran mencari-cari wanita-wanita pelacur dari kelas melarat karena kebanyakan wanita tuna susila kebanyakan berasal dari keluarga miskin dengan pendidikan rendah
2.    Faktor Sosiologis.
Dengan terjadinya perubahan dan perkembangan sosial-budaya yang cepat mengakibatkan ketidakmampuan banyak individu untuk menyesuaikan diri. Misal, bertemunya bermacam-macam kebudayaan asing dan kebudayaan setempat meng-akibatkan terjadi perubahan-perubahan kehidupan yang cepat sehingga masyarakat menjadi labil, banyak konflik budaya, kurang adanya kompromi mengenai norma-norma kesusilaan antar anggota masyarakat. Dengan kelemahan norma, motivasi jahat, adanya kesempatan, dan lingkungan sosial yang hiterogen dapat dijadikan alasan orang untuk menjadi pelacur. Mereka tidak peduli pada reaksi sosial yang dapat berupa kekaguman, pujian, hormat pesona, simpati, sikap acuh tak acuh, cemburu, iri hati, ketakutan penolakan, kemurkaan, hukuman, kebencian, kemarah-an, dan tindakan-tindakan konkrit lainnya.
3.    Faktor Psikologis.
Faktor psikkologis memainkan peranan penting yang menyebabkan seorang wanita melacurkan diri. Kegagalan-kegagalan dalam hidup individu karena tidak terpuaskan dengan kebutuhan baik biologis maupun sosial dapat menimbulan efek psikologis sehingga mengakibatkan situasi krisis pada diri individu tersebut. Dalam keadaan krisis ini akan memudahkan timbul konflik batin, yang sadar atau tidak sadar mereka akan mencari jalan keluar dari kesulitan-kesulitan. Dalam keadaan demikian, orang akan mudah terpengaruh ke jalan yang sesat apabila orang itu dalam keadaan jiwa yang labil. Berbagai faktor internal psikologis yang dapat menjadi penyebab wanita menjadi pelacur, antara lain moralitas yang rendah dan kurang berkembang (misalnya kurang dapat membedakan baik buruk, benar salah, boleh tidak), kepribadian yang lemah dan mudah terpengaruh, dan kebanyakan para pelacur memiliki tingkat kecerdasan yang rendah.
Sejalan dengan pendapat Kartini Kartono, bahwa pelacuran tidak hanya timbul disebabkan dari pihak perempuan saja, tetapi juga oleh sebab-sebab dari pihak laki-laki, antara lain:
a.  Nafsu birahi laki-laki untuk menyalurkan kebutuhan dan kepuasan seks tanpa ikatan apapun.
b.  Rasa iseng laki-laki yang ingin mendapat pengalaman reaksi seks di luar ikatan perkawinan, ingin mencari varisi dalam reaksi seks.
c.   Istri sedang haid, hamil tua, atau lama sekali mengidap penyakit, sehingga tidak mampu melakukan reaksi seks dengan suaminya.
d.  Istri menjadi gila atau cacat jasmaniah, sehingga merasa malu untuk kawin lalu menyalurkan kebutuhan-kebutuhan seksnya dengan wanita-wanita pelacur, misalnya karena bongkok, buruk rupa, pincang dan lain sebagainya.
e.  Bertugas di tempat yang jauh, pindah kerja atau ditugaskan di tempat yang lain yang belum sempat atau tidak dapat memboyong keluarga.
f.    Karena berprofesi sebagai penjahat sehingga tidak memungkinkan berumah tangga.
g.  Tidak mendapat kepuasan kebutuhan seks dengan patner atau istrinya.
h.  Tidak bertanggungjawab atau akibat relasi seks dan dirasakan sebagai lebih ekonomis, misalnya tidak perlu memelihara anak keturunan, tidak perlu membiayai rumah tangga dan tidak perlu menjamin kebutuhan istri
Faktor-faktor sebagaimana tersebut di atas akan menjadi penyebab yang kompleks. Hal ini yang secara langsung ataupun tidak langsung akan memelihara dan mempengaruhi keberadaan drama pelacuran yang tidak berkesudahan, dari masa ke masa, dan di mana saja belahan muka bumi ini, sepanjang manusia itu masih ada maka pelacuran pasti ada.

I.       Cara menanggulangi pelacuran
Usaha-usaha dalam penanggulangan terhadap pelacuran harus segera dilakukan sebab kalau tidak segera dilakukan, maka gejala dan penyakit sosial ini lama kelamaan dipandang oleh masyarakat sebagai hal yang wajar dan normal. Dengan adanya pandangan seperti itu berarti bahwa masyarakat mulai jenuh dalam menghadapi segala permasalahan yang berhubungan dengan pelacuran. Dengan demikian, apabila masyarakat mulai jenuh, maka usaha-usaha penanggulangan ter-hadap pelacuran akan mengalami banyak hambatan, padahal akibat-akibat adanya pelacuran sangat membahayakan dan meresahkan masyarakat dan generasi anak-anak di masa mendatang.
Usaha-usaha dalam penanggulangan permasalahan wanita tuna susila atau pelacuran ialah dengan berusaha membendung dan mengurangi merajalelanya tindakan pelacuran yang membahayakan. Dalam hal ini, Dinas Sosial perlu bekerja sama dengan instansi lain yang terkait dan tokon-tokoh masyarakat dan agama untuk mengatasi dan menanggulangi pelacuran. Usaha - usaha untuk memberantas dan menanggulangi pelacuran dapat dilakukan secara preventif dan represif. Usaha preventif adalah usaha untuk mencegah jangan sampai terjadi pelacuran, sedang usaha represif adalah usaha untuk menyembuhkan para wanita tuna susila dari ketunasusilaanya untuk kemudian dibawa ke jalan yang benar agar menyadari perbuatan yang mereka lakukan itu adalah dilarang oleh norma agama.
Adapun usaha-usaha yang bersifat preventif untuk menanggulangi dan mengatasi pelacuran dapat dilakukan dengan berbagai cara, antara lain:
1.    Intensifikasi pemberian pendidikan keagamaan dan kerohaniaan.
2.    Menciptakan bermacam-macam kesibukan dan kesempatan rekreasi bagi anak-anak usia puber untuk menyalurkan kelebihan energinya dalam aktivitas positif.
3.    Memperluas lapangan kerja bagi kaum wanita .
4.    Penyelenggaraan pendidikan seks dan pemahaman nilai perkawinan dalam kehidupan rumah tangga.
5.    Pembentukan badan atau tim koordinasi dari semua unsur lembaga terkait dalam usaha penanggulangan pelacuran.
6.    Memberikan bimbingan dan penyuluhan sosial dengan tujuan memberikan pe-mahaman tentang bahaya dan akibat pelacuran.
Sementara itu, usaha-usaha yang bersifat represif untuk menanggulangi atau mengurangi pelacuran dalam masyarakat dapat dilakukan berbagai hal, antara lain (Kartini Kartono, 1998):
1.    Melalui lokasilisasi yang sering ditafsirkan sebagai legalisasi, orang melaku-kan pengawasan atau kontrol yang ketat demi menjamin kesehatan dan ke-amanan para pealacur dan para penikmatnya.
2.    Melakukan aktivitas rehabilitasi dan resosialisasi para pelacur agar bisa di-kembalikan sebagai warga masyarakat yang susila.
3.    Penyempurnaan tempat penampungan bagi para wanita tuna susila yang ter-kena razia disertai pembinaan sesuai minat dan bakat masing-masing.
4.    Menyediakan lapangan kerja baru bagi mereka yang bersedia meninggalkan profesi pelacuran dan mau mulai hidup baru.
5.    Mengadakan pendekatan terhadap keluarga para pelacur dan masyarakat asal mereka agar keluarga mau menerima kembali mantan wanita tuna susila itu guna mengawali hidup baru.
Melaksanakan pengecekan (razia) ke tempat-tempat yang digunakan untuk perbuatan mesum (bordil liar) dengan tindak lanjut untuk dilakukan penutupan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar